SURABAYA (Lentera) -Akademisi Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Sultoni Fikri, menilai keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang menyatakan Wakil Ketua Komisi III DPR, Adies Kadir, tidak bersalah sudah sesuai prosedur dan proporsional.
Menurutnya, pernyataan Adies yang sempat menuai perdebatan publik hanyalah bentuk slip of the tongue atau kekeliruan spontan tanpa unsur kesengajaan.
“Saya melihat yang terjadi pada Bapak Adies Kadir jelas dapat dikategorikan sebagai slip of the tongue, bukan pelanggaran etik. Itu kekeliruan spontan dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan pihak mana pun,” ujar Sultoni, Rabu (5/11/2025).
Ia menjelaskan, merujuk Pasal 20 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015, pelanggaran etik hanya dapat dikenakan apabila terdapat unsur pelanggaran hukum, pelanggaran tata tertib, atau tindakan yang menurunkan martabat lembaga secara substansial.
Karena pernyataan tersebut telah diklarifikasi secara terbuka dan tidak menimbulkan akibat hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik.
“Pernyataan beliau lebih tepat dipahami sebagai kekeliruan yang sudah terkoreksi secara etis dan komunikatif,” jelasnya.
Peneliti Nusantara Center for Social Research itu juga mengapresiasi langkah cepat Adies yang langsung memberikan klarifikasi keesokan harinya. Menurutnya, tindakan tersebut menunjukkan tanggung jawab moral dan kedewasaan etik seorang pejabat publik dalam menjaga kepercayaan masyarakat.
“Respons cepat terhadap kesalahan komunikatif menunjukkan adanya kesadaran moral dan tanggung jawab institusional. Itu sejalan dengan prinsip responsible speech dalam demokrasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, tidak ada unsur pelanggaran substansial jika meninjau ketentuan dalam UU MD3 maupun Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015. Polemik yang sempat berkembang disebutnya lebih dipicu oleh peredaran potongan video yang tidak utuh di media sosial.
“Dalam etik, yang dinilai adalah niat dan akibat hukum. MKD telah memeriksa secara objektif dan menyatakan beliau tidak bersalah, sehingga persoalan ini selesai secara hukum dan etik,” tegasnya.
Menurut Sultoni, pendekatan edukatif dan proporsional MKD dalam menangani perkara ini penting agar penegakan etik tidak berubah menjadi alat politik atau sarana pembunuhan karakter. “Keputusan MKD merupakan penerapan prinsip fair trial dalam ranah etik parlemen,” tambahnya.
Sultoni menyebut klarifikasi cepat dari Adies Kadir dapat menjadi contoh budaya akuntabilitas di kalangan pejabat publik.
“Beliau menunjukkan bahwa pejabat publik yang berani mengakui dan memperbaiki kekeliruan adalah pejabat yang memahami makna akuntabilitas. Itu contoh bahwa tanggung jawab moral adalah fondasi utama etika pejabat negara,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH





