11 November 2025

Get In Touch

Kios di Bogowonto Kota Madiun Disegel, Pedagang: Retribusi Naik 940 Persen, Akses Tertutup, Omzet Anjlok

Deretan kios di Jalan Bogowonto, Kota Madiun, tampak tertutup, para penyewa mengeluhkan omzet anjlok sejak munculnya Bogowonto Culinary Center yang menutup akses ke kios lama.
Deretan kios di Jalan Bogowonto, Kota Madiun, tampak tertutup, para penyewa mengeluhkan omzet anjlok sejak munculnya Bogowonto Culinary Center yang menutup akses ke kios lama.

MADIUN (Lentera) -Penyegelan kios di Kota Madiun kini merembet ke kawasan Jalan Bogowonto. Sejumlah kios yang berdiri sejak 1960-an terpaksa tutup karena menunggak retribusi. Namun para penyewa menilai masalah bukan semata tunggakan, melainkan kenaikan retribusi yang tak masuk akal.

“Dulu Rp900 ribu per tahun, sekarang Rp8,5 juta. Naiknya 940 persen,” ujar Eka Hartono, penyewa kios elektronik, Rabu (5/11/2025).

Eka menunggak tiga tahun karena omzet anjlok sejak munculnya Bogowonto Culinary Center. Deretan gerbong kereta yang dijadikan tempat makan menutup kios lama hingga akses pelanggan terhalang.

“Pembeli nggak bisa masuk. Bagaimana mau jualan,” keluhnya.

Kawasan Bogowonto dulunya dikenal sebagai sentra elektronik Madiun. Kini wajahnya berubah jadi area kuliner. “Kami disarankan jualan makanan. Tapi ganti usaha tidak semudah itu,” kata Eka.

Pemkot Madiun lalu menyegel kios yang menunggak. Di pintu kios tampak stiker biru tanda segel. Eka menilai kebijakan ini tidak adil. “Kalau kios harus buka dan bayar retribusi, gerbongnya pindahkan dulu. Bangunan kios juga hasil swadaya penyewa, bukan dari Pemkot,” tegasnya.

Berbeda dengan Eka, Syaiful—pemilik kios cukur rambut—masih bertahan meski sepi. “Banyak pelanggan kira sudah tutup karena tertutup gerbong. Dari depan nggak kelihatan,” ujarnya. Pendapatannya kini tak cukup untuk bayar retribusi, tapi menutup usaha bukan pilihan. “Kalau tutup, mau kerja apa?” katanya.

Para penyewa sudah mengadu ke BPKAD, Dinas Perdagangan, INKA, dan KAI. Namun semua pihak mengaku tak berwenang. “Semua bilang itu perintah kepala daerah. Kami seperti diping-pong,” kata Eka.

Mereka juga telah audiensi dengan DPRD, tapi rekomendasi dewan tak direspons Pemkot. “Kami siap tempuh jalur hukum kalau tak ada solusi,” tegasnya.

Aduan terakhir disampaikan ke Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Ngadiran, anggota Dewan Pembina APPSI Pusat, turun langsung meninjau lokasi dan mempertanyakan dasar pembangunan area kuliner tersebut.

“Membangun jangan hanya pakai emosi. Mana studi kelayakannya? Apakah sudah dihitung dampaknya bagi pedagang lama?” ujarnya.

Menurut Ngadiran, Pemkot seharusnya memprioritaskan pedagang yang sudah puluhan tahun mencari nafkah di sana. “Benar aset itu milik pemerintah, tapi modal dan tenaga justru keluar dari penyewa. Jangan dimatikan begitu saja,” tegasnya.

Ia mengingatkan agar kebijakan penyegelan tidak berujung memiskinkan warga. “Pemerintah daerah mestinya melindungi, bukan menyingkirkan rakyat kecil,” pungkasnya.

Reporter: Wiwiet Eko Prasetyo|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.