SURABAYA (Lentera) -Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi), dengan target penyelesaian pada 2027. Penyiapan RUU tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029.
Dalam beleid itu dijelaskan, Kementerian Keuangan menyiapkan empat rancangan undang-undang, yakni RUU tentang Perlelangan, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara, RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi), dan RUU tentang Penilai.
Rencana tersebut mendapat tanggapan kritis dari kalangan akademisi.
Guru Besar Ekonomi Moneter dan Perbankan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Wasiaturrahma, SE, MSi, menilai langkah tersebut belum mendesak untuk dilakukan karena dapat menimbulkan risiko ekonomi dan psikologis bagi masyarakat.
Menurut Prof. Rahma, redenominasi bukan kebutuhan prioritas di tengah situasi ekonomi global yang masih tidak menentu. Ia menilai, tidak ada desakan dari sektor bisnis yang mengharuskan penyederhanaan nilai mata uang saat ini.
“Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya karena banyak barang-barang yang harganya masih seribu atau dua ribu. Kalau seribu jadi seperak, barang-barang itu sulit menyesuaikan harga. Kalau naik sedikit saja bisa memicu inflasi,” jelasnya, Rabu (12/11/2025).
Ia menambahkan, perubahan nominal uang akan berpengaruh terhadap struktur harga barang kecil, yang secara tidak langsung bisa mendorong kenaikan harga di berbagai lapisan pasar.
Selain itu, Prof. Rahma juga menyoroti dampak psikologis yang mungkin muncul di masyarakat berpenghasilan rendah. Menurutnya, perubahan nominal uang dapat menimbulkan persepsi negatif dan rasa kehilangan daya beli secara tiba-tiba.
“Jangan lupa efek psikologisnya. Sekitar 190 juta rakyat kita masih hidup dengan penghasilan sekitar 50 ribu per hari. Kalau 50 ribu jadi 50 perak, mereka bisa merasa mendadak miskin. Persepsi itu bisa menurunkan rasa percaya diri ekonomi masyarakat,” ungkapnya.
Prof. Rahma juga mengingatkan situasi global belum cukup stabil untuk mendukung kebijakan besar seperti redenominasi.
Ia mencontohkan kondisi fiskal Amerika Serikat yang mengalami defisit hingga 6 persen dari PDB, yang berpotensi menekan perekonomian global, termasuk Indonesia.
“Probabilitas resesi di AS memang sekitar 30 persen, tapi itu angka tinggi untuk ukuran Wall Street. Dampaknya bisa terasa ke Indonesia, di mana ekonomi kita sendiri masih berjuang menyeimbangkan pertumbuhan, inflasi, dan tekanan eksternal,” tuturnya.
Untuk itu, sebelum redenominasi diterapkan, pemerintah perlu memastikan kesiapan sistem keuangan dan edukasi publik. Ia menegaskan masyarakat masih sering salah paham menganggap redenominasi sama dengan sanering atau pemotongan nilai uang.
Tak lupa, Prof. Rahma berpesan agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam melontarkan wacana yang berpotensi memicu keresahan.
“Saat ini masyarakat sedang berupaya menjaga kestabilan keuangan rumah tangganya akibat pelemahan ekonomi dan terbatasnya lapangan kerja baru. Pemerintah sebaiknya fokus pada upaya pemulihan ekonomi nyata dulu,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH





