SURABAYA (Lentera) -Pakar lingkungan dari Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Arseto Yekti Bagastyo menyoroti adanya mikroplastik dalam air hujan di Jakarta dan sejumlah daerah lain termasuk Surabaya baru-baru ini menjadi sinyal serius tentang memburuknya kualitas lingkungan.
Ia mengatakan fenomena ini berkaitan erat dengan masih lemahnya sistem pengelolaan sampah, khususnya plastik, di Indonesia sekaligus sinyal serius tentang memburuknya kualitas lingkungan.
Menurutnya, keberadaan mikroplastik dalam hujan menunjukkan meningkatnya polutan plastik berukuran sangat kecil di atmosfer. Fenomena tersebut terjadi akibat atmospheric deposition, yakni proses jatuhnya partikel-partikel dari udara ke permukaan bumi.
“Mikroplastik dalam air hujan ini merupakan indikator mobilitas polutan plastik di udara. Artinya, kita memiliki masalah serius yang bergerak secara vertikal dan horizontal,” kata Prof. Arseto, Rabu (26/11/2025).
Mikroplastik yang ditemukan merupakan hasil degradasi makroplastik yang terurai menjadi partikel lebih kecil berukuran kurang dari 5 milimeter. Proses penguraian itu dipicu paparan angin, panas, sinar ultraviolet (UV), perubahan cuaca, hingga aktivitas manusia. Setelah terbentuk, partikel mikroplastik dapat terbawa angin, kemudian turun bersama hujan.
“Ketika hujan, mikroplastik tersebut kembali memasuki ekosistem. Mereka bisa mengalir ke sungai, laut, terserap tanah, dan masuk ke rantai makanan melalui organisme kecil hingga akhirnya mencapai tubuh manusia,” jelasnya.
Guru besar bidang pengolahan limbah itu menyoroti fakta bahwa konsumsi plastik oleh masyarakat masih tinggi, sementara pengelolaan sampah belum mampu mengimbangi lajunya timbulan sampah.
“Pembatasan timbulan dan penanganan sampah kita masih belum efektif dan optimal,” tuturnya.
Prof. Arseto menyebut kondisi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di berbagai daerah masih menggunakan sistem open dumping, bukan sanitary landfill yang lebih aman dan terkontrol.
“TPA yang memenuhi standar sanitary landfill belum mencapai 50 persen. Ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah daerah,” ujarnya.
Prof. Arseto mengakui tingginya biaya operasional pengelolaan sampah dan minimnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah menjadi hambatan utama.
“Pengelolaan sampah memerlukan integrasi dari hulu ke hilir dengan melibatkan semua pihak. Oleh sebab itu, peran aktif dari setiap pihak perlu semakin diperkuat untuk mencegah dampak yang lebih besar,” tutupnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH




