OPINI (Lentera) -Rakyat Indonesia beberapa waktu terakhir disuguhi pemandangan menarik. Panggungnya ruang para wakil rakyat. Terasa lebih hangat, bahkan berkeringat.
DPR tiba-tiba tampil lebih galak, lebih cerewet, dan lebih lantang bicara. Dulu kadang juga tampil galak. Tapi kali ini lebih orisinil.
Wakil rakyat yang terhormat menyoroti Kementerian Keuangan yang sekarang di bawah Purbaya Yudhi Sadewa. Bandingkan dengan era Sri Mulyani. Saat itu suara kritik DPR sering terdengar seperti bisikan lirih di lorong rumah sakit. Sepi, pelan, sopan, dan cepat dilupakan.
Kini, nada itu berubah. Seolah-olah ada aroma berbeda yang tercium sehingga para anggota dewan merasa perlu membuka jendela lebih lebar. Wakil rakyat jadi fasih berbiacara tentang pajak dan bea cukai.
Orang bertanya-tanya: apakah benar persoalannya ada pada individu menteri?
Atau sebenarnya bau itu sudah lama ada di dalam dua ruangan yang sama: Direktorat Pajak dan Bea Cukai yang selama ini menjadi pusat cerita gelap birokrasi fiskal.
Noda Minyak
Sejujurnya, dua institusi itu seperti dapur besar yang sibuk melayani seluruh keuangan negara, tapi selalu menyimpan noda minyak yang tak pernah hilang walau digosok berkali-kali.
Reformasi demi reformasi telah diumumkan. Logo baru, jargon baru, sistem baru. Tapi cerita-cerita lama tetap muncul: rekening gendut, barang mewah yang tak sesuai gaji, pungli, tarif bawah meja, sampai gaya hidup yang membuat pengusaha kecil ternganga.
Di era Menkeu Sri Mulyani pun, dua ruangan itu tidak pernah benar-benar beres. Padahal Sri Mulyani sangat dihormati secara internasional, dihargai sebagai teknokrat kelas dunia. Tapi justru di sanalah letak ironi: penghormatan publik membuat siapapun, termasuk DPR, segan membuka-buka terlalu dalam. Kita mengagumi menterinya, tapi membiarkan “anak-anak” di bawahnya bermain di belakang pintu.
Dan kita tahu, pintu yang dibiarkan tertutup terlalu lama biasanya menyimpan bau-bau tak sedap.
Mengganggu Kenyamanan
Ketika Purbaya masuk, suasana berubah. Tidak seperti pendahulunya yang datang dengan auranya sebagai ekonom global, Purbaya tampil lebih apa adanya, kadang blak-blakan, dan mungkin—ini yang membuat banyak orang tidak nyaman—lebih siap membongkar hal-hal yang selama ini “diamankan”.
Purbaya adalah “orang luar” yang tiba-tiba duduk di kursi paling strategis fiskal. Ia membawa perspektif berbeda: kritis, keras kepala, dan suka bicara apa adanya. Tipe orang yang kalau melihat bau aneh, tidak hanya membuka jendela, tapi langsung mengangkat karpet.
Di sinilah wakil rakyat menjadi lebih vokal. Sebagian karena benar-benar ingin mengawasi. Sebagian lagi karena suasana politik sedang berubah. Dan, sebagian mungkin karena merasa inilah kesempatan untuk menekan menteri baru yang belum punya “modal keakraban” dengan para pemain lama.
Dalam politik, mereka yang baru selalu lebih enak ditekan daripada mereka yang sudah lama berkuasa.
Selalu Gagal
Masalah dua ruangan ini tidak pernah selesai bukan karena kurangnya teknologi, kurangnya aturan, atau kurangnya pengawasan. Semua itu sudah ada. Yang tidak pernah berhasil disentuh adalah kultur.
Di pajak dan bea cukai, kultur adalah mata uang paling mahal. Kultur menentukan siapa yang naik pangkat, siapa yang disayang atasan, dan siapa yang dianggap “penghambat aliran pendapatan tak resmi”. Sistem bisa diganti, tapi kultur buruk selalu menemukan cara untuk hidup kembali.
Dan inilah ujian terbesar Purbaya:
Bukan apakah ia bisa menerbitkan aturan baru. Tapi apakah ia berani mengubah kultur yang nyaman bagi banyak orang berpengaruh.
Itu sebabnya tekanan politis mendadak membesar. Bau busuk bukan hanya soal individu nakal, tapi soal ekosistem yang merasa terancam.
Kadang kita terlalu sibuk menyoroti menteri siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih pintar, atau siapa yang lebih disukai media. Padahal, di balik semua itu, ada kenyataan sederhana: Siapapun yang menjadi Menkeu akan mencium bau yang sama dari dua ruangan yang sama.
Yang membedakan hanyalah: apakah ia pura-pura tidak mencium, atau memilih membuka pintu lebar-lebar.
Selama puluhan tahun, kita sering memuji mereka yang pura-pura tidak mencium apa-apa. Kita menyebutnya “berwibawa”. Padahal mungkin itu hanya kemampuan menahan napas.
Purbaya, tampaknya, tidak ingin menahan napas. DPR pun ikut-ikutan mencium baunya. Lalu ramai-ramai mengangkat tangan, bertanya, mengkritik, bahkan mengancam.
Ini bukan kebetulan. Ini reaksi alami ketika ada orang baru yang mulai lancang mengaduk endapan lama.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Siapa yang paling kita butuhkan?
Orang yang paling pintar secara teknokratik?
Orang yang paling luwes secara politik?
Atau orang yang paling dikagumi publik?
Jawabnya bisa sangat sederhana, namun sulit untuk dicerna: Yang kita butuhkan adalah seseorang yang berani melakukan hal yang selama ini dihindari: membuka pintu dua ruangan itu dan membiarkan cahaya masuk.
Andai Purbaya punya nyali untuk itu, ia mungkin bukan menteri yang paling populer, tapi bisa jadi paling penting dalam dua dekade terakhir.
Bagaimana kalau Purbaya gagal?
Tenang saja. Kita akan kembali seperti biasa: menutup pintu, menahan napas, dan membahas lagu daerah saat rapat dengar pendapat.
Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Stikosa-AWS|Editor: Arifin BH




