07 December 2025

Get In Touch

Pakar IPB Jelaskan Ciri Kayu Hasil Penebangan yang Terseret Banjir Sumatera

BANJIR SUMBAR: Sejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Sampah kayu gelondongan itu menumpuk di sepanjang pantai Padang pasca banjir bandang beberapa hari te
BANJIR SUMBAR: Sejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Sampah kayu gelondongan itu menumpuk di sepanjang pantai Padang pasca banjir bandang beberapa hari te

SURABAYA (Lentera) -Potongan video ratusan batang kayu atau gelondongan kayu yang terseret banjir di Sumatera, memicu kontroversi di masyarakat.

Temuan kayu gelondongan yang terbawa arus saat bencana longsor di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini sempat diduga dari pembalakan liar.

Mengenai gelondongan kayu Ahli Kebijakan Hutan IPB University (Institut Pertanian Bogor), Prof Dodik Ridho Nurochmat, ikut memberikan analisanya atas kayu-kayu yang terseret banjir.

Menurut Dodik, kayu-kayu besar dan kecil yang tampak berserakan di lokasi bencana tidak berasal dari satu penyebab tunggal.

Berdasarkan informasi visual yang beredar di media sosial dan televisi, ia menilai kayu tersebut kemungkinan berasal dari campuran penebangan, pohon tumbang, serta sisa land clearing yang tidak dibersihkan.

“Bisa dari penebangan lama atau pembersihan lahan yang tidak tuntas. Jika terbawa arus air, kayu itu akan mengambang. Namun bisa juga dari penebangan kayu yang baru. Untuk itu harus ada investigasi,” ujarnya, dilansir dari laman IPB University pada Rabu, (3/12/2025).

Ia belum dapat memastikan apakah kayu tersebut seluruhnya merupakan kayu gelondongan baru atau kayu lama yang terseret arus. Debit air besar saat longsor, kata dia, memungkinkan pohon tumbang ikut hanyut sehingga menambah campuran material kayu di lokasi.

Bedanya kayu yang ditebang dan tumbang alami

Prof Dodik juga menjelaskan perbedaan kayu hasil pembalakan dengan kayu tumbang alami. Menurutnya, kayu hasil tebangan pasti memiliki bekas gergaji yang jelas. Sementara kayu yang tumbang alami tidak menunjukkan pola potongan yang rapi. Namun ia menilai sulit melakukan identifikasi detail hanya dari video atau foto.

“Dari gambar terlihat potongan kayu berukuran kecil dan besar. Tapi tidak bisa dilihat secara detail apakah potongannya rapi atau akibat tumbang alami,” katanya.

Pembenahan tata kelola lingkungan

Ia menekankan perlunya pembenahan tata kelola lingkungan agar kejadian serupa dapat dicegah. Terkait penyebab longsor, Prof Dodik menyebut kejadian tersebut merupakan kombinasi faktor alam dan faktor manusia. 

“Ada cuaca ekstrem, kondisi geografis pegunungan, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia,” ujarnya.

Ia menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap regulasi seperti AMDAL, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, serta penegakan hukum yang tidak hanya fokus pada denda, tetapi juga pemulihan lingkungan.

Ambil manfaat hutan tanpa merusak

Menyinggung data deforestasi di Sumatera bagian utara, Prof Dodik menjelaskan bahwa kehilangan tutupan hutan (forest loss) mencakup degradasi, sementara deforestasi memiliki batasan hukum tersendiri.

“Di Indonesia, batasnya 30 persen. Jika kurang dari itu, terjadi deforestasi,” katanya, ikutip dari Kompas.

Ia mengingatkan agar penurunan tutupan hutan diperhatikan serius karena berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Prof Dodik menutup penjelasan dengan menekankan pentingnya multifungsi hutan dan pemanfaatan hutan yang tetap menjaga keberlanjutan. “Masyarakat harus bisa mengambil manfaat dari hutan tanpa merusaknya,” ujarnya (*)

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.