
Gresik - Wabah Covid-19 menghantam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perekonomian menjadi lesu, tidak jarang pula kepala keluarga kehilangan mata pencaharian karena usahanya gulung tikar.
Di tengah wabah ini, petani binaan Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) tetap bisa mengais untung dari budidaya pisang Cavendish yang ada di lahan bekas tambang. Hal ini disampaikan General Manager of CSR SIG, Edy Saraya di Gresik, Kamis (10/9).
Lahan tersebut merupakan kawasan lahan pascatambang tanah liat Pabrik Tuban di Desa Tlogowaru, Kecamatan Merakurak. "Ini merupakan salah satu upaya SIG untuk membantu petani yang memiliki keterbatasan lahan garapan," ujarnya.
Edy Saraya menambahkan bahwa, selain digunakan untuk perkebunan pisang, lahan pascatambang tanah liat Pabrik Tuban sedang dikembangkan menjadi kawasan Ecopark. Saat ini juga sedang dibudidaya berbagai tanaman lainnya seperti anggur, klengkeng, alpukat, dan berbagai tanaman lainnya.
Sedangkan, lahan seluas 2 hektar bekas tambang dimanfaatkan untuk budidaya pisang Cavendish sejak April 2019. Total ada 3.000 pohon pisang cavendish, dikelola oleh 17 petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Green Belt SIG.
Di tengah wabah Covid-19, hasilnya bisa dirasakan oleh kelompok petani Green Belt SIG. Wihadi salah satu petani Green Belt mengatakan bahwa sejak ditanam hingga saat ini dirinya beserta petani lainnya telah melakukan 10 kali panen.
Setiap panen mampu menghasilkan 100 tandan pisang senilai Rp5 juta, pisang tersebut untuk memenuhi kebutuhan pasar di Kabupaten Tuban dan pemesanan dari luar kota.
Wihadi menambahkan, program perkebunan pisang Cavendish ini sangat bermanfaat bagi dia dan petani Green Belt, karena dapat menambah penghasilan keluarga. "Saat ini pisang yang kami budidaya telah rutin berbuah, perawatannya pun mudah," terangnya.
Selain itu, SIG juga terus memberikan pendampingan agar para petani memperoleh hasil maksimal. "Tidak hanya itu, perusahaan juga membantu proses distribusi dan penjualan melalui Koperasi Petani Green Belt, sehingga kami tidak lagi kesulitan untuk pemasarannya,” ujar Wihadi. (sep)