
A.Widyawati
Redaktur Pelaksana LenteraToday
Bagaimana rasanya dapat warisan? Biasanya sih senang. Tapi beda lagi kalau yang diwariskan utang, jadinya ‘senep’ (sakit perut). Itulah yang menjadi kekhawatiran negara Indonesia saat ini.
Baru saja kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, tonggak sejarah saat generasi muda bersumpah kepada negeri ini. Yaitu bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia ; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sayangnya, warisan utang malah di depan mata. Data terbaru, utang pemerintah per akhir September 2020, berdasarkan Kementerian Keuangan yaitu sebesar Rp 5.756,87 triliun.
Beberapa waktu lalu, Indonesia juga dinobatkan sebagai negara dengan utang terbanyak di Asia Tenggara (ASEAN). Bahkan menurut data Bank Dunia, negeri ini masuk 10 besar (tepatnya nomor 7) negara pendapatan rendah menengah dengan utang terbesar di seluruh penjuru bumi.
Menurut hitungan kasar, dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 30 Juni 2020 jumlah rakyat sekitar 269 juta jiwa (tepatnya 268.583.016 jiwa), dengan tanggungan pokok utang negara US$402,08 miliar atau sekitar Rp 5.910 triliun (per Desember 2019), bila dibagi rata, maka setiap penduduk menanggung utang sekitar Rp 21 juta/orang. Itu belum ditambah beban bunga utang yang mencapai US$ 12,04 miliar (Rp179,98 triliun). Dan itu juga belum melihat terus bertambahnya utang saat ini.
Tak dipungkiri, utang segunung itu memang digunakan untuk berbagai program pemerintah terkait penanganan dan penanggulangan Pandemi Covid-19.
Menurut data, dana yang disiapkan Indonesia memerangi Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun atau USD 24 miliar. Jumlah ini cukup besar mencapai hampir 20 persen dari belanja nasional 2020 atau hampir 2 persen dari PDB.
Dana ini digunakan untuk bidang kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif pajak, stimulus kredit hingga program pemulihan ekonomi. Dengan jumlah dana ini, Indonesia termasuk negara-negara yang mengalokasikan dana cukup besar untuk menangani wabah ini atau hampir 2 persen PDB.
Jumlahnya memang lebih rendah dibanding negara-negara maju. Misalnya Jerman yang mengalokasikan USD132 miliar, Perancis EUR45 miliar, Italia USD27 miliar atau Korea Selatan sebesar USD66 miliar.Dana yang digunakan Indonesia lebih besar dari Turki yang mengalokasikan USD15,4 miliar bahkan China yang mengalokasikan dana sebesar USD17,2 miliar.
Menyedihkannya jumlah utangnya terus menggelembung. Benarkah generasi muda akan diwarisi utang? Bila itu terjadi, tantangan penerus bangsa ini ke depan adalah mengangsur utang tanpa ujung. Ironis bukan.
Mengutip analisa ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dengan struktur utang luar negeri yang didominasi utang berjangka panjang (88,8 persen), Indonesia memang akan mewariskan utang terbesar bagi generasi ke depan. Kondisi ini membuat anak-anak di masa depan harus menanggung utang yang diputuskan pemerintah hari ini, begitu mereka lahir. Pasalnya, pemerintah tiap lima tahun berganti, tapi beban utang harus tetap dibayar dan menjadi tanggungan generasi berikutnya.
Belum lagi, surat utang pemerintah Indonesia memakai dolar AS. Mengingat Rupiah lemah terhadap dolar AS maka berpotensi untuk risiko yang relatif tinggi terkait dengan nilai tukar. Fluktuasi Rupiah akan mempengaruhi nilai dari utang yang pemerintah harus bayar pada masa depan.
Utang luar negeri yang dicatat pada 2019 ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, utang asing Indonesia sebesar 307,74 miliar dollar AS, 2016 sebesar 318,94 miliar dollar AS, 2017 sebesar 353,56 miliar dollar AS, dan pada 2018 sebanyak 379,58 miliar dollar AS. Kendati demikian, peningkatan jumlah utang ini diikuti oleh peningkatan Pendapatan Nasional Bruto (PNB).
Apakah harus utang, apalagi ke investor asing?
Dalam struktur pembiayaan negara ada beberapa sumber dana yang dikenal selama ini. Di antaranya adalah dana pungutan bea ekspor sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dana lingkungan hidup di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) kemudian dana khusus yang dikelola Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.
Indonesia juga mempunyai dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan jumlah sekitar Rp150 triliun. Selain itu juga ada cadangan devisa sejumlah USD 130 miliar yang dikelola oleh Bank Indonesia.
Kendati demikian, Kementerian Keuangan memastikan rasio ini masih tetap aman karena masih di bawah batas maksimal di Undang-Undang Keuangan negara. Mengacu UU 17/2013 tentang Keuangan Negara, memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB. Benarkah aman? Semoga!(*)