Untag 1945 Gelar Sarasehan Kebangsaan, Rektor Untag: Ini Pentingnya Revitalisasi Nasionalisme

SURABAYA (Lenteratoday) - Tantangan kondisi Indonesia saat ini adalah adanya intoleransi, radikalisme dan terorisme, korupsi hingga kesenjangan sosial ekonomi. Ini diungkapkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945, Dr. Mulyanto Nugroho, MM., CMA., CPA saat menyampaikan materi dalam kegiatan sarasehan dalam memperingati Bulan Bung Karno dan Hari Lahir Pancasila, Selasa (08/06).
Lebih lanjut, Mulyanto Nugroho menegaskan, sudah menjadi tugas bersama untuk merevitalisasi jiwa patriotik dan nasionalisme. “Revitalisasi jiwa patriotik dapat diwujudkan melalui sikap serta memperkokoh wawasan kebangsaan. Karena itu, penting dilakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa,” tuturnya.
Sarasehan secara daring yang mengusung tema “Revitalisasi Jiwa Patriotik dan Nasionalisme Suatu Gerakan Memperkokoh Wawasan Kebangsaan bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara” ini juga menghadirkan 3 narasumber lainnya, yakni Anggota DPR-RI - Drs. H. Djarot Syaiful Hidayat, MS., Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) - Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., dan Pengurus Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya - J. Subekti, SH., MM.
Drs. H. Djarot Syaiful Hidayat, MS. melalui pemaparan materinya mengungkapkan perlunya mengembalikan jiwa patriotik dan nasionalisme. Dia mengambil contoh figur bung Karno dengan seluruh sikap dan tindakan cinta tanah air berdasarkan nilai theisme, sosialisme dan nasionalisme.
Namun, anggota DPR RI itu pun mengakui perubahan dan kemajuan jaman berdampak negatif pada berbagai aspek, baik politik, ekonomi hingga budaya. Hal ini menurutnya terjadi karena nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, wujud dan jatidiri bangsaserta Trisakti dilupakan.
Djarot juga menyayangkan banyaknya generasi milenial yang tidak lagi mengenal sejarah Indonesia. Oleh karena itu dia berharap dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti sekolah, agar memasukkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Misalnya dengan pengadaan program volunteer atau sukarelawan. Adanya kegiatanseperti ini, lanjut Djarot, diharapkan menjadi wadah bagi generasi milenial mempelajari nilai-nilai Pancasila.
Djarot menjelaskan, “adanya empati saat membantu masyarakat, itu sudah merupakan nilai Pancasila. Kemudian bergaul dengan berbagai macam suku, agama dan ras, itu sudah masuk nilai toleransi. Hal yang seperti ini perlu dikembangkan dengan konteks kekinian.” Kemajuan teknologi juga bisa menjadi wadah merevitalisasi jiwa patriotik dan nasionalisme pemuda dengan adanya konten-konten yang diisi dengan nilai-nilai nasionalis dan kearifan Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. Tantangan dan ancaman dari kemajuan suatu peradaban tidak bisa terelakkan. Namun, ideologi Pancasila sebagai pedoman bangsa menjadi penuntun dalam menghadapi seluruh persoalan yang ada.
Bung Karno melalui ideologi Pancasila tidak hanya mengajak masyarakat Indonesia untuk reaktif dan bersikap defensif terhadap ancaman dan tantangan yang ada, namun mendorong kita untuk berpikir kreatif, konstruktif dan progresif. “Jangan sampai kita hanya larut dalam reaksi sampai lupa pada misi mulia ideologi bangsa kita,” tuturnya.
Menjadi narasumber penutup, J. Subekti SH, MM., menjelaskan dalam menghadapi degradasi pemahaman terhadap nasionalisme di Indonesia yang multietnis dan multikultur, dibutuhkan revitalisasi semangat gotong royong dan kolaborasi dalam membangun kembali jiwa Pancasila dan nasionalisme.
Dalam proses revitalisasi ini dibutuhkan aksi nyata, misalnya Pembumian Pancasila. Hal ini bertujuan agar Pancasila tidak hanya untuk berteriak melainkan untuk bertindak. Dia juga mengajak tokoh masyarakat, tokoh agama hingga tenaga pendidik untuk memberikan ketauladanan hidup normatif sesuai Pancasila dan UUD 1945.
“Mari memberi tauladan bagaimana kita bersikap dan berbicara sebagai tokoh panutan. Jangan sampai malah memecah belah didalam institusi, di dalam bangsa,” jelasnya.