
SURABAYA (Lenteratoday) - Pembelajaran Tatap Muka di Surabaya nampaknya harus dibatalkan mengingat kasus positif covid-19 makin tinggi. Untuk itu, Pakar Epidemolog Dr dr. Windhu Purnomo mengatakan bahwa keputusan pemerintah dalam membatalkan sekolah tatap muka merupakan keputusan yang tepat.
“Terkait Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang dibatalkan karena lonjakan kasus Covid 19, memang itu harus dibatalkan, karena kita sebagai orang tua melindungi anak anak, khususnya masyarakat itu sendiri. Bagi saya kebijakan tersebut sudah benar,” ujarnya dihubungi lewat sambungan telepon, Minggu, (27/6/2021.
“Kalau PTM di Surabaya sudah siap, tinggal menyesuaikan perkembangan situasi terkini, itu menyangkut infrastruktur dan standar prosedurnya. Namun, untuk menjalankan PTM ditengah kondisi seperti saat ini itu menakutkan. Sehingga kondisi epidemologinya sekarang semakin menakutkan, kasusnya semakin tajam naik. Jadi tidak main main terkonfirmasi positifnya tinggi banget,” tambahnya.
Apalagi, Lanjut Windhu Indonesia disumbang dengan daerah daerah padat penduduk. Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jatim, terutama di kota kota besar. Tentu harusnya tidak ada pimpinan daerah yang nekat untuk membuka PTM, artinya tidak melindungi masyarakatnya terutama anak anak.
“Lonjakan kasus bukan hanya dari Bangkalan kalau berbicara Jawa Timur. Secara umum kondisi kita ini bukan hanya soal mudik bukan hanya Pekerja Migrain Indonesia (PMI). Kepatuhan warga yang jelek, kemauan tracing pemerintah juga buruk,” jelasnya.
Menurut Windhu, dibatalkannya PTM itu bukan hanya satu faktor akan tetapi banyak faktor sehingga tidak dapat menuduh Bangkalan sebagai batalnya PTM dibuka.
“Kalau Bangkalan selain orangnya seperti itu, kemampuan persepsinya terhadap covid buruk. Tapi sebetulnya itu bukan hanya bangkalan,” ujarnya.
Windhu mengatakan bahwa penanganan pandemi tidak bicara demokrasi, tapi apa yang benar menurut sains,bagaimana menangani pandemi yaitu apa saja yang tidak boleh ada pergerakan manusia. Virus ikut inangnya saat orang bergerak. Ketika terus bergerak, lalu direlaksasi tidak hanya sekolah, wisata perdagangan masih terus bergerak, maka virusnya senang berpindah.
“Ilmu standar penanganan Covid 19, kalau ada wabah carilah kasusnya. Kalau kasusnya tidak ketemu, kita tidak tahu tertular dari mana. Kasusnya cari setinggi mungkin itu namanya tracing. Jadi suatu daerah tidak mau cari kasus bisa disebut tidak kerja. Untuk bisa menyelesaikan wabah ini kasusnya harus ditemukan untuk apa,” katanya.
Karena, lanjut Windhu penularan kalau tidak ketemu berarti dibawah ke permukaan penularannya. Ditemukan sebanyak mungkin kemudian di isolasi supaya tidak jadi penular itu prinsipnya. Kalau di Surabaya itu dihentikan, pergerakannya dikunci di suatu tempat supaya tidak nulari orang lain. Sekarang tidak mampu mencari, seperti sekarang Indonesia tidak punya kemauan untuk mencari kasus.
“Buktinya tracing dan testing lemah. Indonesia nomor ke 158 dalam urusan testing rate 220 negara. Indonesia 30 negara di dunia yang terjelek, dalam melakukan testing dan tracing. Makanya tidak selesai. Tren dunia turun tapi Indonesia malah naik. Karena banyak kasus yang ada di bawah permukaan tidak mampu kita cari, kalau kita tidak mampu mencari, apakah semua orang harus dianggap positif. Kan tidak bisa bedakan karena testingnya jelek,” ujarnya.
Untuk menghentikan penyebaran covid-19, menurut Windhu bahwa semua orang yang ada di wilayah itu harus di kunci itu namanya karantina wilayah. Artinya pergerakan mobilitasnya di hentikan. Bukan malah sekolah Mall dan tempat wisata dibuka. Tidak sesuai dengan ilmu.
“Karena anaknya bisa membawa virus dari luar rumah bawa pulang ke rumah nanti kalau dirumahnya ada orang diatas 60 atau keatas dan punya komorbid, ketularan menjadi klaster keluarga. Soal sekolah itu bukan soal anak saja dan sekolah saja karena bisa menyiapkan infrastruktur yang baik. Tetapi sekolah itu harus jalan dulu dari rumah. Siapa yang menjamin mereka tidak keluyuran atau tidak mampir,” jelasnya.
“Padahal diluar banyak virus dimana kasus terkonfirmasi positif kita tinggi sampai 50 persen. Jadi setiap dua orang satu positif. Di jalan ketemu banyak orang separuhnya positif. Pimpinan daerah, instansi dispendik itu harus mempunyai persepsi resiko yang baik bukan sekedar menuruti apa yang diinginkan rakyat. Karena masyarakat tidak banyak yang mengerti. Justru yang paham dan mengerti adalah para