24 April 2025

Get In Touch

Pakar Hukum: Tindakan Pemerintah Terhadap Pembuat Mural Sama Dengan Pembungkaman Kritik

Pakar Hukum: Tindakan Pemerintah Terhadap Pembuat Mural Sama Dengan Pembungkaman Kritik

SURABAYA (Lenteratoday) - Munculnya gambar mural sosok Joko Widodo Presiden dengan mata tertutup tanda merah bertulis “404: Not found” seharusnya dianggap sebagai kritik sebagai bagaian dari dinamika ekspresi warga biasa. Aksi aparat kepolisian yang melakukan penghapusan mural pada dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten dengan ditimpa tinta hitam, ditambah lagi dengan aksi memburu para pembuat mural tersebut, dianggap bentuk pembungkaman kritik yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini disampaikan Pakar Hukum sekaligus Dosen Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P. Wiratman.

Beragam mural lain yang muncul di berbagai daerah juga tak luput dari sasaran penghapusan, seperti “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Kecamatan Bangil, Pasuruan, “Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang, Banten, juga tak luput dari tindakan dari aparat kepolisian, yang melakukan penghapusan hingga memburu para pembuat mural.

Herlambang P. Wiratman menjelaskan, pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convenant on Civil and Political Right dalam pengesahan Undang-undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam pasal 19 ayat 2 tertulis, bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan Informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

Dalam mengekspresikan pendapat tentu ada batasan. Namun menurutnya pembatasan tersebut harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, jangan sampai pembatasan tersebut malah menghilangkan hak berpendapat itu sendiri, seperti yang tertulis dalam pasal 19 ayat 3: ” Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 dalam Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum sepanjang diperlukan untuk: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.”

Herlambang memaparkan, pembatasan pendapat memiliki standar hukum yang rigid atau kaku. Pertama, pembatasan tersebut harus dinyatakan tegas oleh hukum. Kedua, pembatasan harus memiliki legitimate crime atau tujuan yang jelas mengapa ekspresi tersebut harus dibatasi. Ketiga, memenuhi unsur necessity proportionality, artinya pembatasan tidak menghilangkan hak untuk menyampaikan kritik.

Ia berpandangan, gambar Joko Widodo yang tertuang dalam mural tersebut sebagai bentuk ekspresi menyampaikan kritik kepada penyelanggara negara, bukan secara personal Joko Widodo. Sehingga, bentuk kritik tersebut seharusnya diperbolehkan dan mendapat perlindungan.

“Sebenarnya kritik itu terhadap Presiden, bukan personal Jokowi. Presiden sebagai penyelenggara pemerintah. Kritik publik terhadap pejabat diperbolehkan dijamin dan dilindungi,” tegasnya.

Apalagi, kritik sosial tentang kondisi pandemi seperti saat ini di lapangan juga dihapus. Menurut Herlambang hal itu merupakan tindakan berlebihan.

“Misal ekspresi kritik soal layanan kesehatan yang kolaps, muralnya dihapus, itu terlalu berlebihan. Toh, faktanya layanan kesehatan tidak bisa melayani masyarakat secara paripurna,” ujarnya.

Yang dilarang, lanjutnya, adalah kritik yang diluar aturan hukum seperti karya seni yang mengandung penghasutan, menebar kebencian hingga kekerasan seperti yang diatur dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berkekspresi yang diterbitkan oleh Komisi Nasional HAM.

Herlambang sekaligus mengingatkan, bahwa ekspresi seni bermacam-macam bentuknya. Seringkali, makna dan intepretasi atas seni tersebut berbeda bagi setiap orang.

“Setiap ekspresi seni bisa ditafsir macam-macam. Orang menampilkan ekspresi mocking (mengejek) misal menjadi monyet, muka dilapisi topeng, bisa ditafsir macam-macam karena ini seni,” lanjutnya.

Untuk itu, ekspresi seni harusnya bisa ditanggapi lebih bijak untuk bisa saling menghargai karya yang dihasilkan seniman. “Saya tidak bisa bayangkan, mural kalau dibungkam lama-lama kita kering,” tutupnya.

Di sisi lain, pembungkaman mural juga menjadi perhatian bagi Rachmad Priyandoko Mural Artist Surabaya. Menurutnya, aparat kepolisian tidak perlu terlalu agresif para mural artist karena mau bagaimana pun, mural tetap lah medium seni untuk menyampaikan pesan, ekspresi dan berpendapat.

“Dalam hati nurani saya, jangan lah sampai dikejar-kejar karena ada yang lebih pantas dikejar, seperti koruptor. Mungkin dalam isi hati teman-teman, apresiasi terhadap mereka kurang didengar, dilihat. Jadi mau bagaimana lagi,” kata pria yang akrab disapa Cak Mad itu.(ist)

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.