08 April 2025

Get In Touch

Dugaan Kriminalisasi Advokat di Blitar, Diadukan ke DPR dan DPD RI

Ketua Umum DPP IPHI, Rahmat Santoso dan Kuasa Hukum JTM, Hendi Priono.
Ketua Umum DPP IPHI, Rahmat Santoso dan Kuasa Hukum JTM, Hendi Priono.

BLITAR (Lenteratoday)  - Tidak hanya lapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dugaan kriminalisasi advokat di Blitar juga akan diadukan ke Komisi III DPR dan DPD RI.

Seperti disampaikan juru bicara kuasa hukum Joko Trisno Mudiyanto (JTM), Hendi Priono setelah mengirimkan surat pengaduan ke LPSK Jumat(17/12/2021) kemarin, pihaknya sebagai tim kuasa hukum juga akan berkirim surat ke Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum. "Akan kami mengadukan adanya dugaan kriminalisasi advokat ini secara lengkap, agar ada koreksi dan pembenahan kedepannya," ujar Hendi, Minggu (19/12/2021).

Hendi menjelaskan alasan diadukannya hal ini ke Komisi III DPR RI agar mendapat perhatian, sekaligus membantu menyelesaikan masalah ini. "Karena didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada pasal mengenai pembenar dan pemaaf. Dengan adanya UU No 31 Tahun 2014 tentang LPSK, seharusnya bisa menjadi bagian dari pasal pembenar dan pemaaf dimana seseorang tidak bisa dituntut pidana atau hak imunitas," jelasnya.

Apalagi saat ini sedang dalam proses revisi KUHP, sehingga dengan adanya beberapa kasus kriminalisasi saksi, korban dan pelapor. Bisa masuk pertimbangan DPR RI, dalam menyusun RKUHP. "Idealnya pasal dalam UU LPSK bisa masuk, karena merupakan UU baru yang tentunya disesuaikan dengan kondisi dan beberapa kasus yang belum diatur dalam KUHP," tegas Hendi.

Disinggung mengenai laporan pada LPSK, Hendi mengaku sudah dilaporkan dan dikirimkan pada akhir pekan kemarin. Ada 4 poin yang disampaikan dalam surat kepada LPSK tersebut, diantaranya : JTM sebagai pelapor menjadi terlapor pidana mengadu secara fitnah, telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), adanya dampak sosial dari adanya dugaan kriminalisasi advokat ini dan menjadi preseden buruk penegakkan hukum di Indonesia. "Serta terakhir, adanya kasus dugaan kriminalisasi advokat di Blitar ini menjadi momentum menjalankan UU No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK," papar Hendi.

Selain diadukan ke DPR RI, pihak Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) juga mendukung penyelesaian dugaan kriminalisasi advokat di Blitar ini dengan melaporkannya ke Ketua DPD RI. "Kalau tim kuasa hukum melapor ke LPSK dan ke Komisi III DPR RI, kami dari IPHI akan menyampaikan masalah ini ke Ketua DPD RI," kata Ketua Umun DPP IPHI, Rahmat Santoso.

Karena DPD RI bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, dalam hal ini UU LPSK dan KUHP yang saat ini dalam usulan revisi. "Dengan adanya beberapa kasus dugaan kriminalisasi advokat, maka perlu ada revisi dalam KUHP agar ada aturan yang jelas mengenai hak imunitas bagi saksi, korban maupun pelapor," tandas pria yang kini menjabat Wakil Bupati Blitar ini.

Ditambahkan Rahmat kalau seluruh organisasi advokat sepakat agar tidak ada lagi kriminalisasi advokat, maka perlu ada ketegasan dari pemerintah mengenai penerapan UU LPSK dan KUHP imbuhnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, aktivis hukum Jawa Timur, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) dan 4 organisasi advokat yakni Peradi, Peradi SAI, KAI dan Perari sudah angkat bicara. Mereka menyampaikan keprihatinan, dampak sosial dan melaporkan ke LPSK mengenai dugaan kriminalisasi advokat ini.

Dimana seorang advokat di Blitar, Joko Trisno Mudiyanto (JTM) diduga dikiriminalisasi setelah melaporkan dugaan praktik dokter yang Surat Ijin Praktiknya (SIP) sudah kadaluwarsa pada 16 April 2014. Awalnya JTM melaporkan hal ini ke Polres Blitar Kota pada 19 Agustus 2014 silam, dengan laporan No. TBL/165/VIII/2014/SPKT.

Dalam proses hukumnya mulai di Pengadilan Negeri (PN) Blitar, mulai praperadilan hingga putusan bebas dokter yang dilaporkan. Kemudian muncul laporan balik terhadap JTM sebagai pelapor, dengan sangkaan fitnah dan laporan palsu.

Padahal sesuai  UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seharusnya pelapor mendapat hak imunitas sepanjang pelaporan dilakukan dengan itikad baik. Dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata.

Hingga terbit keputusan PN Blitar pada 31 Maret 2021, JTM dinyatakan tidak bersalah dan bebas. Kemudian 5 April 2021 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Blitar mengajukan kasasi ke MA, yang putusannya mengabulkan kasasi dan membatalkan putusan PN Blitar.

Dalam putusan MA No.831K/Pid/2021 inilah, dasar pertimbangan putusan hakim kasasi tertanggal 15 September 2021 diduga terjadi kekhilafan. Karena tidak bisa diterima akal sehat dan nalar hukum, jelas laporan awal JTM terkait SIP yang kadaluwarsa 16 April 2014 ke Polres Blitar Kota pada 19 Agustus 2014. Namun oleh hakim kasasi MA dinyatakan tidak benar, karena adanya SIP Sementara dari Dinkes Kota Blitar tertanggal 12 September 2014 itupun tempat praktik di RSUD Mardi Waluyo bukan RSK Budi Rahayu seperti yang dilaporkan.

Reporter : Arief Sukaputra

Editor : Endang Pergiwati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.