
BLITAR (Lenteratoday) - Selain adanya proses sidang gugatan class action warga pada PT Greenfields, Walhi Jawa Timur juga melakukan investigasi dugaan pencemaran lingkungan. Hasilnya merekomendasikan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), memberikan sanksi terberat yaitu pencabutan izin PT Greenfields.
Adanya investigasi ini disampaikan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan kalau beberapa hari lalu telah melakukan investigasi terkait dugaan pencemaran lingkungan, akibat dari pembuangan limbah kotoran ternak sapi. "Kami coba menelusuri jejak pencemaran, yang sebenarnya sudah dilakukan lama jejaknya sekitar 2018 pasca berdirinya pabrik itu sudah ada jejak-jejak pencemaran dan berlanjut sampai sekarang," ujar Wahyu, Senin (3/1/2022).
Dijelaskan Wahyu sebelumnya ada hasil temuan pihak DLH Jawa Timur salah satunya menyatakan Greenfields tidak memenuhi standar dalam konteks pembuangan limbahnya, serta Amdalnya perlu direvisi dan saluran pembuangan limbahnya belum berizin. "Maka kami akan mendukung proses pengadilan, kemudian mengupayakan kampanye lebih masif lagi menyasar KLHK. Untuk menyoroti kasus pencemaran ini, karena kasus ini sangat menampar hukum lingkungan yang ada," jelasnya.
Karena selama ini pemerintah selalu gembar-gembor mengenai pencemaran oleh masyarakat, tapi untuk perusahaan skala besar cenderung pasif dan diam menunggu. "Tapi tidak ada tindakan yang pasti, meskipun sudah ditunjukkan buktinya. Tetap belum tindakan serius yang dilakukan," keluh Wahyu.
Ada beberapa lagoon yang didatangi Walhi, saat melakukan investigasi ke lokasi di sekitar PT Greenfields di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Dengan luas bervariasi antara 2-4 hektar, limbah yang dialirkan ke lagoon memang sudah diolah tapi belum maksimal masih bercampur. "Meskipun mereka sudah mengklaim limbahnya sudah dipisahkan, tapi buktinya belum ada. Karena sisa kotoran yang dialirkan juga mengandung bakteri, bakteri juga sensitif untuk ternak sapi," terang Wahyu.
Lebih lanjut Wahyu mengungkapkan memang ada perbaikan tapi yang tampak, yang tidak kelihatan seperti kubangan-kubangan (lagoon) yang sebenarnya isinya kotoran sapi. "Sengaja disembunyikan, tertutup rimbunan tanaman seperti pakis dan rumput serta rimbunan semacam hutan. Ini yang jadi PR besar, mereka (Greenfields) menimbun kotoran disekitar tersebut. Belum lagi kalau musim hujan, aliran kotoran cair yang telah dipisah dan juga yang belum diproses mengalir ke Sungai Genjong," ungkapnya.
Dampaknya air Sungai Genjong, selain berubah warna juga kadar BOD atau kadar oksigen dan biologinya. Tidak memenuhi baku mutu untuk air kelas 3, meskipun baku mutunya memenuhi tapi air kelas 3. "Air untuk kebutuhan ternak, bukan air untuk konsumsi," tandasnya.
Selanjutnya Walhi akan berkirim surat ke KLHK, terkait penegakkan hukum UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yaitu UU No 32 Tahun 2009. Semacam rekomendasi bahwa pencemaran yang dilakukan telah mengakibatkan kerusakan ekosistem dan dilakukan berkali-kali bahkan melakukan pengelakan. Tidak ada upaya perbaikan atau mengakui kesalahan.
"Tumpuan utama dari kasus ini adalah keterancaman ekosistem dan hak atas lingkungan hidup yg baik dan sehat. Sehingga guna agar peristiwa serupa tidak dilakukan di tempat lain, maka kami mendorong untuk diberikan sanksi berat yakni melakukan rehabilitasi atas lingkungan yang sudah tercemar dan mencabut izin dari PT Greenfields," tegas Wahyu.
Ketika ditanya apakah Walhi bersedia dihadirkan menjadi saksi dalam persidangan gugatan class action warga, Wahyu memastikan bersedia sesuai kompetensi terkait pengamatan lingkungan apa yang disaksikan dan didapatkan. "Ini akan menjadi tambahan bukti, memang ada pencemara yang dilakukan perusahaan tersebut (Greenfields)," jawabnya.
Ditambahkan Wahyu Walhi kedepan akan melakukan nenerapa riset, tapi tidak bisa dilakukan kapan berjalan. "Karena posisinya musuhnya adalah perusahaan besar, yang terang-terangan melawan hukum dan pemerintah," pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya 258 KK dari Kecamatan Doko dan Wlingi, Kabupaten Blitar yang terdampak pencemaran lingkungan. Melakukan gugatan class action pada PT Greenfields Indonesia, serta Gubernur Jatim dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jatim sebagai turut tergugat 1 dan 2.
Warga yang menggugat dari kelompok petani, peternak ikan, peternak kambing dan sapi serta warga pengguna air sungai. Besarnya gugatan materiil bervariasi mulai dari Rp 2,4 juta - Rp 40 juta per 2 tahun, kemudian gugatan immateriil sebesar Rp 100 juta/KK totalnya mencapai miliaran rupiah. (*)
Reporter : Arief Sukaputra
Editor : Lutfiyu Handi