19 April 2025

Get In Touch

Diminta Perluas Pasal Zina Untuk Jerat Konsumen Prostitusi, MK : Itu Kewenangan DPR

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi.

JAKARTA (Lenteratoday) – Kasus prostitusi yang menjerat Cassandra Angelie kini memicu perdebatan terkait pelaku prostitusi yang terjerat hukum hanyalah pihak penyedia jasa. Namun konsumen yang dianggap memiliki andil besar dalam transaksi illegal tersebut lolos dari jeratan hukum.  

Perdebatan ini membuat publik menilai seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) meluaskan pasal zinah hingga mengkriminalisasi perilaku lesbian, gay, biseksual dan trasngender (LGBT) di KUHP. Tapi MK memutuskan kewenanganya dirinya terbatas dan menyatakan kekuasaan mengkriminalisasikan perbuatan di atas ada di tangan DPR-Pemerintah.

Putusan MK itu salah satunya tertuang dalam putusan MK Nomor 132/PUU-XIII/2015. Putusan ini diajukan oleh Robby Abbas yang diketahui sebagai muncikari prostitusi online. Saat ditangkap, Robby Abbas tengah bersama Amel Alvi.

Pada 26 Oktober 2015, Robby Abbas dijatuhkan vonis 16 bulan penjara karena dengan sengaja memudahkan tindakan cabul dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan.

Robby tidak mau masuk penjara sendirian. Ia juga berharap konsumen yang menikmati artis yang ia jajakan juga masuk penjara. Namun, Robby terbentur Pasal 296 KUHP yang hanya memidanakan muncikari, sedangkan penikmatnya tidak bisa dipenjara.

Pasal itu berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Gugatan ke MK pun dilayangkan namun kandas.

"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan MK yang dikutip, Senin (3/1/2022).

MK beralasan apa yang dikehendaki Robby bukanlah kewenangan MK untuk memutuskan, melainkan hak DPR-Pemerintah untuk merumuskan delik tersebut.

"Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana dimana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," beber 9 hakim konstitusi dengan bulat.

Di persidangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan jawaban bila yang dilakukan aparat kepolisian adalah berpegang pada prinsip legalitas. Jokowi setuju bila materi yang diujikan adalah kewenangan DPR dan Pemerintah dalam merevisi KUHP. Presiden merujuk Rancangan KUHP yang sedang ada di DPR, yang salah satu pasalnya mengatur sesuai dengan permohonan Robby Abbas yang diatur dalam bagian keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul Pasal 483 ayat (1) huruf e yang berbunyi:

Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

"Pemerintah berpendapat permohonan Pemohon tidak terkait dengan isu-isu konstitusionalitas tetapi terkait pada hal-hal teknis dalam penegakan hukum dimana Pemohon tidak puas atas penetapan dirinya sebagai Tersangka atau Terdakwa, sementara pihak lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut tidak ditetapkan sebagai Tersangka atau terdakwa," cetus Presiden.

Tidak lama berselang, sejumlah Guru Besar IPB Bogor Prof Euis Sunarti dkk mengajukan hal serupa ke MK yang meminta materi perluasan zina dan LGBT dalam KUHP. Mereka meminta agar MK meluaskan makna zina yaitu semua hubungan seks di luar pernikahan dikenai pidana. Termasuk pula hubungan sesama jenis agar bisa diatur di KUHP. Salah satu alasan menggugat ke MK karena pemohon menilai RUU KUHP di DPR sangat lama, sejak 50 tahun silam rancangan KUHP hanya wacana belaka.

Disarikan dari berbagai sumber.

Editor : Endang Pergiwati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.