
KEDIRI (Lenteratoday) - Pengunjung di stan Kota Kediri di pameran International Handicraft Trade (Inacraft) 2022 di Jakarta Convention Center tidak hanya ingin membeli produk tenun. Namun ada juga yang justru ingin belajar menenun ikat ke perajin langsung.
Seperti yang dilakukan Magdalena Susilawati Aron SP, istri Bupati Sekandau, Kalimantan Barat. Melihat ada displai alat tenun bukan mesin (ATBM), Magdalena spontan mencobanya, namun ternyata alat tenun dari Kota Kediri tersebut berbeda dengan proses penenunan kain yang juga ada di Kabupaten Sekandau.
"Kalau di tempat kami, proses menenun dilakukan dengan berselonjor kaki di lantai, alat untuk menenun dipangku di atas paha. Kalau punya Kota Kediri ini beda karena orangnya duduk di kursi, dan alat tenunnya lebih besar", jelas Magdalena.
Kain tenun ikat "Kumpang Ilong" yang banyak diproduksi dan digunakan Suku Dayak di Kabupaten Sekadau pada 2020 telah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia di Kemendikbud RI. Melihat Magdalena kesulitan mengoperasikan alat tenun, Ferry Silviana Feronica Istri Walikota Abdullah Abu Bakar yang ikut berjaga di stan Kota Kediri pun menghampiri. Kebetulan keduanya sama-sama menjabat sebagai Ketua Dekranasda di daerah masing-masing.
"Gimana ibu, beda ya alatnya dengan di Kabupaten Sekandau? Ibu silakan duduk lalu kakinya diposisikan di tuas kayu di bawah, nanti menginjaknya bergantian dengan tangan menarik alat tenun ke belakang," jelas Bunda Fey, sapaan akrab Ferry Silviana.
Bunda Fey lalu memanggil Erwin, perajin Tenun Ikat Bandoel Kediri untuk ikut menjelaskan pengoperasian alat tenun bukan mesin tersebut.
"Kami memang sengaja memboyong ATBM ke pameran Inacraft tahun ini. Karena kami yakin itu akan menjadi magnet bagi pengunjung dan akan menjadi pengalaman menarik jika mereka mau mencobanya", jelas Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kota Kediri Tanto Wijohari melalui Kabid Perdagangan Salim Darmawan, Jumat (25/3/2022).
"Kalau sudah mencoba atau minimal melihatnya langsung, calon pembeli tenun ikat akhirnya bisa memahami bahwa proses penenunan benang menjadi kain tenun itu sangat rumit, itu baru proses di ATBM, belum proses di workshop para penenun yang harus melalui 14 tahapan. Dengan begitu, orang bisa lebih menghargai dan bisa menjadi nilai tambah sehingga pelan-pelan para perajin bisa menjual kain tenun lebih mahal sehingga keuntungannya lebih besar,” ujar Salim Darmawan.
“Dengan begitu, idealnya kelak upah buruh yang memang sistemnya dibayar per lembar kain bisa naik, sehingga regenerasi perajin tenun berjalan karena mereka tidak mencari pekerjaan lain yang bisa memberi penghidupan lebih layak," imbuh Salim Darmawan. (*)
Reporter: Gatot Sunarko | Editor : Lutfiyu Handi