Jakarta – Pendidikan literasi tidak hanya melalui pendidikan formal di sekolah saja, namun juga bisa dilakukan dengan cara. Salah satunya adalah dengan pendidikan yang dikembangkan oleh Irwan Bajang, dia menerapkan Independent School. Sebuah pendidikan sebuah pendidikan literasi yang didasarkan atas keterbatasan dana.
Irwan Bajang saat menceritakan suka duka edukasi literasi belum lama ini di bilangan Blok M, Jakarta menjelaskan bahwa Independent School merupakan salah satu wadah untuk menjalankan edukasi literasi (kemampuan menulis dan membaca) untuk masyarakat.
Bahkan, selain mengembangkan independent school yang ada Yogyakarta, lelaki yang kerap disapa Bajang ini juga memanfaatkan beberapa wadah lainnya untuk melakukan edukasi literasi, seperti Indie Book Corner, dikenal sebagai penerbitan, percetakan dan toko buku mandiri yang melayani jasa konsultan, Toko Budi (Buku Indie), yang hadir di berbagai platform e-commerce, dan patjarmerah, festival literasi berskala kecil dan pasar buku dengan misi keliling Nusantara. Di antaranya Yogyakarta, Malang, Semarang dan Jakarta.
“Kurangnya minat baca masyarakat di Indonesia hanya sebuah stigma. Sebenarnya ada keterbatasan wadah bagi para pecinta literasi dalam mencari bahan bacaan. Hadirnya patjarmerah dengan harapan dapat menjangkau kebutuhan masyarakat, terutama di daerahdaerah terhadap buku yang diinginkan,” ujar Bajang yang merupakan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, seperti dalam rilis yang diterima lenteratoday.com.
Kegigihannya dalam mengedukasi masyarakat pentingnya literasi membuat Bajang, pria kelahiran Aik Anyar, Nusa Tenggara Barat, mendapat apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2014 kategori pendidikan dari Astra. “Adanya SATU Indonesia Awards dari Astra sangat membantu kegiatan Independent School, terutama dalam segi publikasi. Banyak yang mengajak saya untuk kolaborasi setelah menerima penghargaan,” tuturnya.
Sinergi antarpenulis dan penerbit dapat dilakukan melalui wadah yang dicetuskan Bajang, karena langkah ini dipercaya menjadi solusi efektif dari masalah di dunia literasi. Dia tidak hanya mengedukasi literasi berupa tulisan saja, melainkan bentuk visual yang samasama dapat menceritakan berbagai makna. Pun, kolaborasi dengan berbagai komunikasi seperti para musisi kerap dilakukan Bajang.
“Literasi tidak melulu bicara soal baca dan tulisan. Melainkan bagaimana masyarakat saling berkomunikasi, menangkap gagasan, dan menyampaikannya kembali,” ujar salah satu pengajar Independent School yang kini berusia 33 tahun tersebut.
Upaya Bajang memodifikasi edukasi literasi dengan setuhan modern ini mendapatkan respons positif dari masyarakat secara luas. Salah satu contoh nyata ialah berkolaborasi dengan MocoSik Festival 2019 di Yogyakarta. Tiket menonton acara musik yang menampilkan musisi indie maupun major, dapat ditukar menjadi salah satu buku dari berbagai penerbit.
“Kita sadar para musisi tidak dapat menciptakan lirik yang berkualitas tanpa adanya sumber bacaan yang bagus. Oleh karena itu kita bangun simbiosis mutualisme antara musik dan buku. Hal tersebut membantu kami dalam menyebarluaskan dunia literasi kepada para peserta yang didominasi oleh generasi millennial,” tutur Bajang yang juga penulis buku Kepulangan Kelima. (ist/ufi)