03 April 2025

Get In Touch

Masa Depan AL Era Prabowo

Probo Darono Yakti
Probo Darono Yakti

Dinamika LCS Harus Serius Ditangani oleh Prabowo di Masa Mendatang

Dinamika geopolitik di sekitar perairan di Laut Cina Selatan memantik atensi Indonesia tidak terkecuali pada Kemenhan dan Mabes TNI sebagai pemangku strategi, kebijakan, hingga operasional di kawasannya. Terlebih Indonesia melalui Presiden Jokowi telah mendeklarasikan diri sebagai Poros Maritim Dunia pada 2014 lalu.

Geografis Indonesia sebagai negara perairan membuat kita perlu memperkuat aspek pertahanan maritim khususnya TNI AL yang mana bertepatan pada Sabtu (5/10), TNI merayakan hari jadinya yang ke-79.

Problem Multidimensi

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono di tahun lalu (8/3) menyatakan bahwa capaian MEF berada di angka 65,06 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa AL yang memegang posisi vital dalam pertahanan laut dalam beberapa aspek belum mencapai 60an persen sebagaimana matra darat. Masalahnya, di dalam sistem pertahanan laut nusantara, AL bersama-sama dengan AU memperkuat doktrin pertahanan dan keamanan rakyat semesta (hankamrata) dengan menjadi garda terdepan dalam melindungi wilayah yurisdiksi berupa laut.

Terdapat problem-problem yang paradoks dengan visi besar PMD Jokowi. Pertama, visi PMD dibarengi dengan fakta bahwa di aspek alutsista laut, kita masih banyak tertinggal. Meskipun telah mengadakan fregat dari berbagai jenis mulai dari kelas Raden Eddy Martadinata buatan PT PAL dan perusahaan Belanda sampai FREMM dari Italia, pada dasarnya kapabilitas AL dapat digerakkan untuk memberikan efek gentar (deterrence) pada kawasan Laut Cina Selatan.

Misalkan melengkapi dan memperkuat kembali satuan kapal selam yang sebelumnya telah mengalami insiden memilukan yakni tenggelamnya KRI Nanggala 402.

Selain kapal selam, kapasitas Indonesia sudah saatnya mengadakan setidaknya satu kapal perusak, di mana pada era Sukarno terdahulu Indonesia memiliki KRI Irian 201 dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki kapal yang kelasnya di atas perusak: penjelajah kelas Sverdlov. Tentu pengadaan kapal besar yang dapat bersiaga di perairan krusial di Laut Cina Selatan menjadi urgensi yang mendesak di tengah manuver-manuver lincah dari kapal￾kapal Penjaga Pantai Tiongkok yang mulai membuat ulah dengan memberikan penghakiman pada kapal-kapal ikan dari negara ASEAN maupun melanggar wilayah hak berdaulat dari ZEE Indonesia.

Kedua, doktrin hankamrata itu sendiri yang masih perlu dikomprehensifkan kembali. Doktrin hankamrata berupa pembagian daerah operasi berdasarkan kewilayahan dan sisa-sisa tri ubaya cakti peninggalan Soeharto masih ada sampai saat ini berupa keamanan nasional, kekaryaan, dan pembangunan dengan penempatan perwira pada pos-pos yang diduduki sipil. Di tengah bergulirnya wacana revisi UU TNI belakangan ini, masyarakat menyadari manuver dari pemerintah untuk kembali menghadirkan doktrin yang seharusnya sudah ditinggalkan bila memang visi negara menjadi negara maju.

Doktrin militer negara maju seyogianya kembali melihat bahwa pertahanan yang terbaik adalah menyerang sebagaimana diungkapkan oleh George Washington dan Mao Zedong. Sudah semestinya strategi kontragerilya dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga penerapannya tidak semata membagi pertahanan laut dalam tiga armada dan lintas laut militer yang melingkupi Indonesia selayaknya doktrin yang berlaku di AD. Melainkan berdasarkan fungsi￾fungsi yang sifatnya makro, semisal satu armada ditempatkan untuk menjaga titik-titik strategis dan jalur komunikasi laut dan menghindari dilema yang disampaikan oleh Corbett yakni berdiamnya kapal di suatu pelabuhan untuk menghindari peristiwa yang sama terjadi pada Hawaii saat Perang Dunia kedua. Pada saat itu kapal-kapal yang bersandar di pangkalan dijatuhi bom oleh pesawat perang Kekaisaran Jepang.

Ketiga, personil AD yang masih belum proporsional. Dalam konteks ini, pemangku kebijakan pertahanan yakni Kemhan perlu memperbaiki postur jumlah prajurit TNI AD secara keseluruhan yang tercatat sebesar 300 ribu berbanding dengan jumlah prajurit TNI AL yakni Marinir sebesar 22.500. Wacana tentang peningkatan status Korps Marinir untuk dilakukan restrukturisasi dan modernisasi, sehingga seorang Komandan Korps Marinir dinaikkan dari bintang dua menjadi bintang tiga memiliki arti besar.

Upaya ini termasuk peningkatan status dari yang sebelumnya berada di fungsi operasional, menjadi fungsi pembinaan yang lebih luas dapat meningkatkan kapasitas operasional, komando dan kendali yang semakin diperbesar, dan yang terpenting menaikkan proyeksi kekuatan. Mengingat peran Marinir yang sangat luas, menjadi pasukan pendarat yang justru sangat strategis dibutuhkan di wilayah kepulauan sehingga setidak-tidaknya posisi ideal jumlah Marinir dapat mengimbangi jumlah personil AD sekarang.

Strategi Militer Prabowo sebagai Presiden Ditunggu

Terpilihnya Prabowo tentu menjadi yang ditunggu-tunggu dalam konstelasi percaturan politik pertahanan yang dijalankan oleh Indonesia baik di luar negeri maupun luar negeri. Kiprahnya sebagai Menhan sejauh ini disoroti positif oleh berbagai media di Indonesia. Patut ditunggu upaya ke dalam maupun luar negeri dalam rangka memperkuat industri strategis dan menjalin relasi dengan perusahaan-perusahaan asing termasuk membuat keputusan krusial: membeli
F15 dan Rafale dari AS dan Prancis, serta membatalkan kesepakatan dengan Perusahaan Perkapalan Daewoo di Korea Selatan dalam konteks pembuatan kapal selam.

Agaknya Prabowo cukup percaya diri dengan riwayat pekerjaannya sebagai purnawirawan jenderal yang memiliki segudang pengalaman dan telah melampaui Menteri Pertahanan pendahulunya. Sejumlah agenda strategis tentu menunggu jika tidak ingin kehilangan momentum untuk terus memodernisasi AL: Pertama, membuat indikator yang dapat meneruskan MEF. Mengingat terdapat kata “minimum” di dalam MEF, maka pola penentuan strategi pertahanan dan militer Indonesia harus diukur secara ilmiah dengan menggunakan pendekatan yang sudah ada. Proyeksi kekuatan, kepemilikan akan alutsista dengan kapabilitas deterrence harus ada di depan mata.

Kedua, Prabowo harus menghadapi kritik dari sebagian besar masyarakat bahwa akan ada era kedua dari Orde Baru dalam konteks posisi TNI di tengah-tengah negara dan masyarakat. Fungsi sosial pada masyarakat perlu dipertegas, termasuk meninjau ulang kapasitas dari Babinsa (dan Babinpotmar dari TNI AL) yang semula diciptakan untuk memata-matai masyarakat pada era orde baru. Saat ini meskipun terlihat sinergis di atas kertas, namun kerap kali fungsinya tumpang tindih dengan Bhabinkamtibmas di unsur kepolisian. Artinya, jika eksistensi bintara teritorial ini hendak dipertahankan perlu ada kekhasan peran yang sekiranya dapat menunjukkan bahwa doktrin teritorial yang semestinya sudah perlu digeser dapat diganti dengan pendekatan yang lebih fleksibel menghadapi tantangan zaman dan ancaman siber yang lebih luwes.

Probo Darono Yakti
Direktur Center for National Defence and Security Studies (CNDSS)
Deputi Direktur Emerging Indonesia Project
Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.