12 April 2025

Get In Touch

Kenaikan Cukai Rokok Menjadi Dilema

Kenaikan Cukai Rokok Menjadi Dilema

Jakarta - Penetapan kenaikan cukai rokok oleh KementerianKeuangan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020, dinilai Anggota Komisi XI DPRRI Harry Poernomo sebagai kebijakan dilematis. Menurutnya, sisi dilematisnyaadalah pada prespesktif dimana rokok sebagai sumber penyakit, sedangkan disisilain cukai masih menjadi sumber pendapatan Negara dan kesempatan kerja yangsangat luas.

Seperti yang diketahui, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau rokok sebesar 21,55 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok di kisaran 35 persen.

Lebih lanjut Harry Poernomo mengatakan rokok adalah salahsatu sumber penyakit yang sudah diakui dunia, sementara biaya kesehatan harusberhemat karena BPJS sudah shortfall. Namun di sisi lain, politisi FraksiPartai Gerindra ini mengkhawatirkan nantinya akan banyak industri rokokberskala kecil dan menengah yang berguguran.

 “Ada kekhawatiransaya, kalau cukai rokok naik terlalu tinggi, nantinya industri rokok yang masihmenggunakan manual, atau kretek linting, akan berguguran. Akhirnya nanti akanmenimbulkan pengangguran, inilah dilemanya,” ungkap legislator daerah pemilihanJawa Tengah VI ini.

Setidaknya, terdapat total  5,9 juta tenaga kerja yang diserap dariIndustri Hasil Tembakau (IHT). Dari jumlah tersebut, 4,28 juta diantaranyamerupakan pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara sisanya 1,7juta pekerja di berada di sektor perkebunan.

Selain dari aspek ketenagakerjaan, pendapatan dari cukairokok sangat tinggi. Pada 2018 lalu, penerimaan cukai mencapai Rp 153 triliun,lebih tinggi disbanding tahun sebelumnya yaitu Rp 147 triliun. “Penerimaancukai pada tahun lalu telah berkontribusi 95,8 persen terhadap pendapatan cukainasional,” katanya.

Meski menyumbang pendapatan besar, Harry mengkhawatirkankeuntungan dari kenaikan cukai rokok yang akan diberlakukan nantinya, hanyamenguntungkan industri rokok skala besar, seperti pabrik-pabrik rokok yangberoperasi dengan menggunakan mesin dan melakukan produksi secara massal.

“Saya khawatir ini akan berdampak, memang nanti pendapatannaik tapi kemudian efek sampingnya adalah terjadi pengangguran karena banyakpabrik rokok skala kecil dan menengah yang tutup, efeknya juga dirasakan petanitembakau. 35 persen itu terlalu tinggi menurut saya, harusnya bertahap. Mungkindengan 15 persen dulu, ya sesuai inflasi lah,” pungkasnya. (ufi/ist)

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.