
SURABAYA (Lentera) - Viral temuan es krim mengandung alkohol di sebuah pusat perbelanjaan elit di Surabaya memantik reaksi keras dari masyarakat dan para wakil rakyat. Bukan hanya karena kandungan alkoholnya yang tinggi, bahkan disebut hingga 40 persen dijual bebas.
Anggota DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati, menyebut kejadian ini sebagai alarm kegagalan sistem pengawasan produk pangan. Ia mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan makanan dan minuman, terutama yang dikonsumsi publik luas.
“Kita kecolongan. Es krim beralkohol bisa dijual bebas tanpa kontrol ketat. Ini bukan sekadar masalah label, ini soal arah nilai sosial dan moral masyarakat kita,” ungkap Lilik Hendarwati, Senin (7/4/2025).
Menurut Legislator asal Dapil Surabaya Raya tersebut, masuknya produk makanan yang mengandung alkohol ke pasar publik Surabaya mencerminkan lemahnya sinergi antar lembaga pengawas, dari tingkat pusat hingga daerah. Ia menyoroti tidak berfungsinya deteksi dini dari BPOM, Dinas Perdagangan, maupun Dinas Kesehatan Kota.
“Surabaya ini kota besar, dengan standar yang seharusnya tinggi terhadap keamanan konsumsi. Tapi faktanya, masyarakat kita bisa membeli es krim dengan kandungan alkohol tinggi seperti membeli snack di mall. Ini membahayakan,” tegasnya.
Fenomena ini pertama kali mencuat setelah akun Instagram @mamari******* mengunggah video ulasan es krim rasa Jack Daniel’s, yang mengandung alkohol hingga 40 persen, di sebuah stand makanan di Surabaya Barat. Selain varian itu, ditemukan pula rasa-rasa lain dengan kadar alkohol bervariasi antara 10 sampai 40 persen.
Respon netizen sangat keras. Banyak yang mengecam produsen dan mempertanyakan lemahnya pengawasan. Sebagian mempertanyakan mengapa produk seperti itu bisa dipasarkan secara bebas tanpa batasan usia pembeli.
Politisi PKS itu menyebut bahwa pengawasan produk pangan harus berbasis pada nilai-nilai lokal masyarakat.
“Mayoritas masyarakat Jatim beragama Islam, dan jelas dalam Islam, alkohol itu haram. Produk seperti ini bukan hanya tak cocok secara aturan, tapi juga merusak nilai-nilai yang dijaga oleh warga kita,” terangnya.
Lebih lanjut, Lilik juga mengkritisi kemasan dan pemasaran produk yang tidak membedakan antara produk biasa dan yang mengandung alkohol, sehingga menyulitkan masyarakat dalam mengidentifikasi.
Untuk itu, Lilik mendesak Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur segera mengevaluasi regulasi dan pengawasan pangan, khususnya produk dengan kandungan zat adiktif atau berisiko seperti alkohol.
“Dibutuhkan reformasi menyeluruh. Tidak cukup hanya penindakan, kita juga perlu perbaikan sistem dari hulu ke hilir—dari distribusi, pengemasan, hingga edukasi publik,” pungkasnya.
Reporter: Pradhita|Editor: Arifin BH