
MALANG (Lentera) - Di tengah sebutan Indonesia sebagai negara maritim dengan potensi laut melimpah, jutaan nelayan masih hidup dalam kemiskinan. Memperingati Hari Nelayan Nasional yang jatuh setiap 6 April, Akademisi Universitas Brawijaya (UB) menyuarakan perlunya konsep baru dalam membangun sektor perikanan dan kehidupan para nelayan.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UB, Prof. Dr. Ir. Edi Susilo, M.S, menyampaikan kritik atas kegagalan pembangunan sektor kelautan. Yang selama ini lebih menitikberatkan pada pendekatan ekonomi semata.
Menurutnya, pola pembangunan yang terlalu ekonomis justru menjauhkan nelayan dari kesejahteraan yang hakiki. "Pembangunan perikanan selama ini bertumpu pada logika ekonomi dan investasi. Namun, aspek sosial masyarakat nelayan kerap diabaikan. Akibatnya, muncul ketimpangan, kerusakan ekologi, hingga konflik sosial," ujarnya, Selasa (15/4/2025).
Menurutnya, ironi nelayan miskin di negeri bahari bukan sekadar narasi. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2019 tercatat sekitar 14,58 juta nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di banyak wilayah pesisir, nelayan masih sulit mengakses modal, pendidikan, hingga infrastruktur dasar.
Sebagai bentuk respon akademik, Prof. Edi menawarkan sebuah pendekatan baru yang ia rumuskan melalui kajian sosiologis bertajuk Struktur Sosial Progresif-Integratif (S2PI). Konsep ini memadukan empat pilar utama, yakni sosial, ekonomi, ekologi, dan spiritualitas, dalam kerangka pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
"S2PI ini pendekatan praksis yang menjadikan masyarakat nelayan bukan hanya objek kebijakan, tapi subjek pembangunan. Mereka diajak aktif, terlibat, dan diberdayakan," jelas Peneliti Utama di Pusat Studi Peradaban UB tersebut.
Pendekatan progresif, lanjut Prof. Edi, berarti nelayan harus didorong untuk berkembang dan adaptif terhadap perubahan. Sedangkan integratif menekankan pentingnya menjaga solidaritas sosial dan kearifan lokal dalam komunitas nelayan.
Konsep S2PI juga menekankan pentingnya penguatan struktur sosial. Menurut Prof. Edi, pembangunan yang mengabaikan kapasitas ruang dan titik kritis dalam relasi sosial akan rentan menimbulkan disintegrasi. Karena itu, salah satu instrumen strategis dalam S2PI adalah pembentukan adaptor sosial.
"Adaptor sosial berperan sebagai jembatan antara kebijakan pusat dengan realitas lokal. Misalnya Adakonser (Adaptor Konservasi) untuk kelestarian lingkungan, Adiplas (Adaptor Inti-Plasma) untuk relasi usaha antar nelayan dan mitra usaha, serta Aderum (Adaptor Ekonomi Rumah Tangga) untuk pemberdayaan ekonomi keluarga nelayan," jelasnya.
Melalui pendekatan ini, Prof. Edi berharap sektor perikanan Indonesia tidak lagi dikuasai oleh pendekatan top-down yang elitis dan minim sensitivitas sosial. Ia juga mengajak semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga masyarakat pesisir, untuk membangun sektor kelautan yang manusiawi dan adil. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi