
MALANG (Lentera) - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) memastikan proses seleksi bagi calon dokter spesialis dilakukan secara ketat. Salah satunya melalui penerapan tes kejiwaan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).
Tes ini menjadi instrumen penting untuk menyaring calon peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dinilai tak hanya dari segi akademik, tetapi juga dari sisi kepribadian dan stabilitas psikologis.
Dekan FK UB, Prof. dr. Wisnu Barlianto, SpA(K), M.Si.Med, PhD, menegaskan MMPI bertujuan untuk mencegah adanya dokter spesialis yang bermasalah baik secara mental maupun etika.
"MMPI ini tes psikologi untuk menilai kepribadian dan psikopatologi, kalau dia tidak lulus maka tidak bisa menjadi dokter spesialis," ujar Wisnu, Senin (21/4/2025).
Wisnu menyebut, penggunaan metode ini di FK UB telah diterapkan sejak sekitar lima hingga sepuluh tahun lalu. Menurutnya, sejumlah penelitian menunjukkan MMPI memiliki akurasi tinggi. Dalam mengidentifikasi karakter serta potensi gangguan psikologis seseorang, sehingga menjadi alat seleksi yang krusial di tengah meningkatnya tuntutan profesionalisme tenaga medis.
"Dengan MMPI, kami bisa menyaring sejak awal. Kalau ditemukan kepribadian yang tidak sesuai atau ada gangguan psikologis, maka bisa dicegah untuk tidak lanjut menjadi dokter," imbuhnya.
Proses seleksi tersebut, lanjut Wisnu, bukan sekadar formalitas. Banyak calon dokter spesialis yang gagal melanjutkan pendidikan karena tidak mampu memenuhi skor minimal dalam tes MMPI. FK UB, kata dia, telah menetapkan batas nilai kelulusan yang wajib dipenuhi. Tanpa itu, calon PPDS tidak bisa melangkah ke jenjang berikutnya.
"Ada nilai batas lulusnya, dan kalau tidak mencapai itu, ya otomatis tidak lulus. Ini bukan soal akademik semata, tetapi soal tanggung jawab moral dan etika sebagai tenaga kesehatan," tegasnya.
Selain MMPI, FK UB juga membekali seluruh dokter spesialis yang tengah menjalani pendidikan dengan materi etika kedokteran secara intensif. Termasuk di dalamnya, pemahaman menyeluruh tentang prosedur pelayanan pasien yang berlandaskan standar operasional prosedur (SOP) yang ketat.
"Tidak semua PPDS bisa langsung diberi penyerahan pasien. Harus ada supervisi dari dokter penanggung jawab dan menyesuaikan kemampuan PPDS itu sendiri," terang Wisnu.
Pernyataannya ini sekaligus merespons berbagai kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret oknum dokter dalam beberapa waktu terakhir.
Wisnu menyayangkan terjadinya kasus-kasus tersebut, dan menilai hal itu merupakan bukti kegagalan individu dalam menjaga sumpah dokter serta ketidakmampuan bersikap profesional.
"Jika memang terbukti, maka sudah sepatutnya kasus-kasus seperti itu ditangani oleh aparat penegak hukum karena telah masuk ranah kriminal. Kami dari institusi pendidikan tentu sangat menyayangkan kejadian seperti itu," pungkasnya. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi