
SURABAYA – Meski belum banyak dikenal di Indonesia, penyakit virus La Crosse patut mendapat perhatian khusus. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an di LaCrosse County, Wisconsin, Amerika Serikat, sebuah penemuan yang kemudian menjadi asal-usul nama virus tersebut. Hingga saat ini, sekitar 30 hingga 90 kasus penyakit virus La Crosse dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat.
Penyakit ini disebabkan oleh virus La Crosse ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Spesies nyamuk paling sering menjadi perantara adalah Aedes triseriatus, umumnya berkembang biak di lubang-lubang pohon serta di wadah-wadah terbuka penampung air menggenang. Dengan pola hidup yang erat kaitannya dengan lingkungan lembap, nyamuk ini memiliki potensi untuk menyebarkan virus di daerah-daerah tropis, termasuk Indonesia, seiring dengan perubahan iklim dan globalisasi yang mempercepat penyebaran vektor penyakit.
Anak-anak di bawah usia 16 tahun menjadi kelompok paling rentan terhadap infeksi virus La Crosse. Karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami karakteristik penyakit ini. Masa inkubasi virus berkisar antara lima hingga lima belas hari setelah seseorang tergigit nyamuk pembawa virus.
Sebagian besar infeksi virus La Crosse berlangsung tanpa gejala yang jelas. Banyak kasus tidak terdiagnosis karena infeksi sering kali bersifat ringan atau tidak menimbulkan keluhan klinis. Namun, dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat berkembang menjadi kondisi yang jauh lebih serius.
Gejala awal infeksi virus La Crosse mirip dengan penyakit virus lainnya, seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, kelelahan, dan kelesuan. Jika infeksi berlanjut, virus dapat menyerang sistem saraf pusat, menyebabkan radang otak (ensefalitis), radang gabungan otak dan selaput otak (meningoensefalitis), atau peradangan pada selaput otak nonbakteri (meningitis aseptik).
Ketika infeksi telah berkembang menjadi ensefalitis, pasien bisa mengalami perubahan status mental, seperti kebingungan atau perubahan perilaku. Gejala lain bisa muncul seperti kejang, gangguan berbicara seperti afasia (kesulitan berbicara) atau disartria (bicara tidak jelas), kelemahan otot, gangguan koordinasi gerak tubuh, bahkan kelumpuhan saraf kranial. Beruntung, hingga saat ini, infeksi virus La Crosse belum pernah dikaitkan dengan kelumpuhan flaksid akut, sebuah kondisi serius di mana otot-otot tubuh tiba-tiba menjadi lemas.
Meskipun kasus di Indonesia belum pernah dilaporkan secara resmi, potensi masuknya penyakit ini tetap perlu diantisipasi. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis yang mendukung kehidupan berbagai spesies nyamuk.
Pencegahan menjadi kunci utama untuk menghindari penyebaran penyakit virus La Crosse. Upaya sederhana seperti menguras, menutup, dan mengubur tempat-tempat berpotensi menjadi sarang nyamuk, serta menjaga kebersihan lingkungan, dapat membantu menekan risiko berkembangnya populasi nyamuk pembawa virus. Penggunaan kelambu, pakaian tertutup, dan pengusir nyamuk juga menjadi langkah protektif penting, khususnya di daerah yang memiliki banyak sumber air tergenang.
Dengan mengenali gejala dan memahami cara penyebarannya, masyarakat diharapkan dapat lebih waspada terhadap ancaman virus La Crosse, khususnya dalam melindungi kelompok usia anak-anak yang menjadi sasaran utamanya. Pengetahuan menjadi senjata pertama dalam menghadapi penyakit-penyakit baru, dan edukasi publik menjadi langkah awal untuk mencegah penyebaran lebih luas.
Penulis: Novi-Mg3/Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber