
SURABAYA (Lentera) - Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah insiden terjadi di berbagai daerah. Kondisi ini dinilai sebagai darurat kekerasan terhadap pers yang masih mengancam dan negara harus tegas dalam melindungi jurnalis.
Hal itu disampaikan pakar komunikasi politik sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Dr Suko Widodo Drs MSi. “Selama ini kita belum menempatkan jurnalis sebagai profesi penyeimbang demokrasi,” tegasnya, Jumat (2/5/2025).
Suko menilai bahwa posisi tawar jurnalis masih lemah. Ketika seorang pejabat dikritik atau kesalahannya disorot, respons yang muncul bukanlah klarifikasi sesuai koridor hukum. Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan justru bermunculan, mulai dari intimidasi, serangan digital, hingga ancaman yang membahayakan keselamatan jurnalis.
Bahkan, Suko melihat kekerasan yang terjadi pada jurnalis tidak hanya berada di lingkup pusat, melainkan hampir persoalan yang sama juga terjadi di berbagai daerah. “Sebetulnya tidak ada dikotomi. Perlawanan terhadap idealisme jurnalis itu ada di mana-mana,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan pentingnya pendidikan demokrasi bagi semua pihak serta penguatan organisasi profesi wartawan. “Asosiasi jurnalis harus memperkuat organisasinya, meningkatkan kualitas SDM, dan mengampanyekan peran jurnalis sebagai pencari kebenaran,” tutur Suko.
Lantas di mana peran negara dalam menjamin keadilan dan perlindungan jurnalis? Suko menyatakan bahwa implementasi perlindungan masih jauh dari ideal. “Banyak jurnalis yang hidup dalam tekanan dan intimidasi karena aparat belum sepenuhnya menyadari peran mereka dalam menegakkan kebenaran,” jelasnya.
Ia menilai, dukungan nyata dari level nasional sangat diperlukan. “Presiden harus memberi pernyataan tegas bahwa profesi wartawan atau jurnalis adalah profesi yang harus dijaga. Menurut saya perlu ada statement atau klaim karena itu pengaruhnya akan sangat besar,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Suko menekankan pentingnya peran media dan asosiasi profesi dalam melindungi jurnalis. “Dari lembaganya, organisasi media harus bisa menjamin keamanan jurnalisnya. Asosiasi profesi juga harus secara aktif mengawal serta menunjukkan peristiwa-peristiwa itu sampai tuntas sehingga mendapat banyak dukungan publik,” jelasnya.
Ia pun kembali mengingatkan terkait pentingnya penertiban internal melalui penguatan kapasitas dan profesionalitas wartawan. Adapun dalam membangun ekosistem media yang sehat dan adil, Suko menyarankan adanya pendekatan komunikasi baru yang lebih partisipatif dan etis. Menurutnya, diskusi lintas pihak, termasuk di lingkungan kampus, perlu digalakkan untuk mengidentifikasi akar persoalan kekerasan terhadap pers yang terjadi hingga kini.
“Di samping itu, pengetahuan jurnalistik tetap menjadi kunci untuk memproduksi atau memahami berita secara objektif,” tutup Suko. (*)
Editor : Lutfiyu Handi