
SURABAYA (Lentera) -Wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) menuai polemik. Usulan tersebut dinilai melanggar hak dasar warga dan mencerminkan bentuk kontrol negara terhadap tubuh masyarakat miskin.
Menanggapi hal itu, Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Bagong Suyanto, menilai kebijakan semacam itu sangat tidak tepat. Menurutnya, partisipasi dalam program keluarga berencana seperti vasektomi seharusnya bersifat sukarela, bukan dipaksakan apalagi dijadikan syarat mendapatkan hak dasar seperti bansos.
“Vasektomi sah-sah saja sebagai bentuk partisipasi laki-laki dalam program KB. Tapi jika dijadikan syarat bansos, itu bentuk pemaksaan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan edukatif, bukan ancaman,” kata Prof. Bagong, Rabu (7/5/2025).
Prof. Bagong menjelaskan, usulan tersebut berkaitan erat dengan konsep biopolitik, yakni bagaimana negara atau institusi menggunakan kekuasaan untuk mengontrol tubuh dan kehidupan biologis warga negara.
“Negara seharusnya tidak masuk terlalu jauh ke ranah privat. Tubuh manusia bukan objek kekuasaan. Jika bansos dijadikan alat untuk mengatur tubuh masyarakat miskin, itu bentuk relasi kuasa yang timpang dan berbahaya,” jelasnya.
Dari sudut pandang psikososial, kebijakan seperti ini juga dapat menimbulkan tekanan mental. “Bayangkan jika seseorang yang hidup dalam kondisi ekonomi sulit dihadapkan pada pilihan: ikut vasektomi atau tidak mendapat bantuan. Itu jelas menciptakan tekanan psikologis,” tambahnya.
Prof. Bagong juga menekankan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dalam pengendalian penduduk, yakni melalui edukasi dan insentif yang adil.
“Berikan pemahaman yang utuh soal manfaat program KB. Jika perlu, insentif bisa ditawarkan. Tapi semua harus tetap menghargai kebebasan individu,” tutupnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH