
OPINI (Lentera) -Pada bagian-1 telah diulas masalah disrupsi pekerjaan (jobs) dan sumberdaya manusia (SDM) serta tantangan yang dihadapi Indonesia menuju 2045, utamanya terkait dengan isu pengangguran, implikasi pendidikan, serta ancaman kerapuhan kelas ekonomi menengah ditengah kekhawatiran atas kegagalan lepas dari peluang bonus demografi (negara gagal), baik pada aspek jobs maupun terjebaknya tingkat pendapatan perkapita yang stagnan diposisi menengah atau relatif semakin rendah, justru terjadi dipuncak harapan Indonesia Emas.
Pada bagian-2 ini diulas perlunya transformasi ekonomi secara signifikan, khususnya usaha mikro kecil micro-small enteprises-MSEs) yang menjadi tulang punggung ekonomi karena diperkirakan akan menjadi tumpuan lebih dari 85-90% angkatan kerja. Tanpa kesuksesan di transformasi ekonomi struktural secara mendasar di tingkat ekonomi ‘kerakyatan’ , impian negara maju sejahtera hanya omon-omon belaka.
UMKM, Penyerapan Tenaga Kerja dan Kelas Menengah
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016, dari total jumlah unit usaha (mikro-kecil-menengah-besar), jumlah usaha mikro sebesar 89.34%, usaha kecil 8.98%, usaha menengah 1.54% dan usaha besar 0.13%. SUSENAS berikut baru dilaksanakan tahun 2026 dan nampaknya struktur relatif tidak berubah atau justru porsi usaha mikro-kecil makin membesar karena ekonomi global yang menurun sejak pasca Pandemi Covid-19 dan penurunan ekonomi akhir-akhir ini.
Pembagian skala unit usaha mengikuti UU UMKM sebelum UU Cipta Kerja, dimana usaha mikro beromzet 0-300 jt rp/th, usaha kecil 300jt-2,5 milyar, menengah 2,5-10 milyar/th dan usaha besar lebih dari 10 milyar/th. Pembagian skala ini lebih realistis dari pada pembagian skala menurut UU Cipta Kerja yang mengaburkan usaha mikro dalam usaha kecil beromzet dibawah 2,5 milyard pertahun. Pengaburan ini cukup beresiko karena kemudian usaha mikro yang menjadi hajat hidup masyarakat bawah terabaikan secara kebijakan maupun pembinaan.
Usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Indonesia menyumbang sekurangnya 60% PDB (sekitar 9,500 trilyun rp), namun menyerap 87.58% (SUSENAS 2016) total tenaga kerja seluruh usaha ekonomi (termasuk usaha besar). Jika usaha ekonomi menengah dipisahkan, usaha mikro-kecil menyerap 76.28%, dimana mikro menyerap 58.35% dan usaha kecil 17.93% tenaga kerja.
UMKM yang menjadi pondasi keberadaan dan perkembangan kelas ekonomi menengah Indonesia tahun 2024 diperkirakan 47.85 juta orang (17.13% dari total penduduk). Angka ini menurun sekitar 9 juta orang dari tahun 2019 dimana kelas ekonomi menengah mencapai 57.33 juta.
Usaha mikro-kecil berkorelasi kuat dengan kelas ekonomi menengah karena terkait dengan konsumsi dan permintaan. Kelas menengah memiliki daya beli yang stabil, meningkatkan permintaan akan produk/jasa UMK, terutama di sektor ritel, kuliner, dan layanan lokal.
Dalam aspek entrepreneurship, anggota kelas menengah sering memulai usaha karena akses ke pendidikan, jaringan, dan modal. Dalam aspek pembiayaan ada dukungan ekosistem finansial karena kelas menengah mendorong inovasi teknologi dan pendanaan (misalnya, crowdfunding atau pinjaman online).
UMK, Kemiskinan dan Pengangguran
Usaha Mikro Kecil (UMK) yang tumbuh karena permintaan kelas menengah menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran secara signifikan. Seperti sektor pariwisata di Thailand yang melibatkan usaha homestay dan kuliner, demikian pula di Indonesia. Peningkatan pendapatan kelas menengah mendorong investasi di kesehatan dan pendidikan, dan memperbaiki kualitas SDM masyarakat miskin.
Terkait dengan cita-cita Indonesia Emas 2045, agar Indonesia menjadi negara dengan pendapatan menengah tinggi (seperti Singapore), dan kelas ekonomi menengah makin kokoh dan sustain melewati masa bonus demografi, maka perlu ada iklim bisnis yang mendukung perkembangan UMK(M).
Ketika dewasa ini disrupsi ekonomi akibat otomatisasi, digitalisasi dan AI serta Machine Learning (ML) menyebabkan hilangnya sekitar 23 juta pekerjaan (jobs) dan menurut McKinsey 27-46 juta pekerjaan baru akan lahir, maka UMKM menjadi andalan untuk menampung pergeseran penyerapan tenaga kerja. Demikian pula ketika ‘job crisis’ mewarnai pelemahan ekonomi dan melahirkan banyak PHK.
UMK menjadi andalan karena SDM tenaga kerja saat ini belum cukup memenuhi minimum requirement skills (baik hard maupun soft skill) untuk mengisi seluruh peluang pekerjaan berbasis teknologi kekinian.
Untuk menyiapkan SDMtenaga kerja yang handal dalam memenuhi permintaan tenaga kerja berbasis teknologi dan AI terkini dan kedepan, diperlukan waktu yang lama 10-15 tahun (konsisten) karena harus memupuk pendidikan hardskill dan soft skill sejak pendidikan dasar. Jepang, Korsel, Singapore, Taiwan telah membenahi pembangunan SDM sejak 1970-1980an.
Realitas Usaha Mikro Kecil di Indonesia memang kompleks, sebagian besar terjebak dalam fase survival, minim inovasi, dan belum menjadi bagian dari rantai nilai yang berkelanjutan. Usaha mikro-kecil sebagian besar masih terjebak dalam fase ‘survival’, karena mindset pelaku usaha terutama sektor informal masih fokus pada pemenuhan kebutuhan harian, bukan investasi jangka menengah apalagi panjang.
Literasi bisnis terbatas ditandai minimnya pemahaman tentang manajemen keuangan, pemasaran, atau analisis pasar. Banyak UMK tidak memisahkan uang pribadi dan usaha, sehingga sulit berkembang. Ketergantungan pada model tradisional mewarnai sebagian besar UMK yang merupakan pola warisan turun-temurun (misal: warung sembako keluarga) sering dijalankan tanpa inovasi, meski pasar sudah berubah.
Ekosistem UMK di Indonesia juga belum terinstall dalam sistem rantai pasok modern, dan kesulitan masuk ke jaringan produksi industri besar karena standar kualitas, packaging, atau skala produksi.
DI Indonesia UMK sekitar 60% adalah usaha perdagangan, hanya sekitar 15-16% yang berupa usaha industri pengolahan (tetapi yang manufacturing mungkin hanya 5% selebihnya makanan minuman) dengan teknologi terbatas dan nilai tambah yang terbatas pula. Produk UMK kalah bersaing dengan barang impor murah atau korporasi yang menguasai distribusi.
Dominannya UMK jasa pedagangan, yang menjadi pertanyaan “barangnya” siapa yang dijual?, ketika UMK dalam negeri hanya sedikit yang berbentuk industri pengolahan dan manufaktur. Jangan-jangan produk import dan asembeling, dikemas label “made in Indonesia”?
Transformasi Ekonomi Berfokus pada Pembangunan UMK
Sejauh ini program pembangunan UMK oleh pemerintah sebenarnya sudah sangat banyak dan beragam program, misal melalui pendanaan (KUR, dana bergulir LPDB-KUMKM, PMKE), pelatihan (teknis, pemasaran digital, pengelolaan keuangan dan kualitas produk), dukungan pameran, pendampingan intensif, pembangunan sentra UKM, program kemitraan (business matching, kolaborasi dengan institusi keuangan, perguruan tinggi dan perusahaan), PLUT UMKM, UMKM Level Up dan sebagainya.
Meskipun program pemerintah sudah intensif, namun membina usaha mikro kecil sejumlah sekitar 28 juta unit (Susenas 2016) diberbagai daerah dengan karakter yang berbeda-beda sangat sulit, apalagi dalam timeline mengejar ketertinggalan dan peningkatan kelas UMK yang bersaing secara regional dan global. Dalam pada itu usaha mikro cenderung tetap bertahan sebagai sektor informal, dimana hal ini menambah kompleksitas program untuk membawa transformasi struktural menuju Indonesia Emas 2045.
Untuk mentransformasi UMK, tidak perlu malu untuk mencontoh pendekatan dan strategi yang dilakukan China, dimana UMK terintegrasi dengan usaha menengah besar dan terintegrasi dalam sistem produksi yang bersaing. Clustering UMK untuk produksi manufakturing (yang bernilai tambah tinggi) perlu dilakukan terkait dengan peningkatan kemitraan UMK dengan korporasi besar termasuk BUMN.
Strategi membawa UMK ke level bernilai tambah tinggi perlu dilakukan lebih sistematis, terstruktur dan masif, misal:
- melalui pendekatan "Bottom-Up" dengan melibatkan komunitas lokal dalam merancang program (contoh: Koperasi Pemasaran di Bali untuk pengrajin perak).
- Membangun inkubator UMKM berbasis daerah yang fokus pada keunikan lokal (misal: UMKM kopi di Toraja).
- Integrasi dengan teknologi marketplace khusus UMKM (TaniHub, Evermos).
- Kolaborasi multisektor perusahaan besar sebagai mitra rantai pasok. Seperti Unilever menggandeng UMKM sebagai distributor di daerah terpencil. Universitas perlu terlibat dalam pendampingan teknis (contoh: mahasiswa desain grafis membantu UMKM membuat kemasan).
- Pemberdayaan berbasis komunitas, mengembangkan model "Desa Produktif" seperti Desa Batik Laweyan (Solo), di mana seluruh warga terlibat dalam satu rantai nilai.
Secara keseluruhan transformasi ekonomi UKM perlu diarahkan pada UKM produksi baik pengolahan dan manufaktur dengan penerapan teknologi kekinian, untuk mencapai efisiensi sehingga bisa bersaing dalam harga, serta kualitas. Disamping itu mindset softskill untuk menghasilkan inovasi yang unggul secara komparatif juga perlu didorong.
Meski berat, beberapa UMK sudah membuktikan bisa naik kelas seperti Rudy Hadisuwarno (Pocari Sweat), mulai dari usaha kecil di garasi, kini jadi merk global. UMK Tenun Toraja berkolaborasi dengan desainer internasional untuk masuk pasar Eropa. Kopi Janji Jiwa, lahir dari UMK, kini jadi jaringan franchise nasional.
Transformasi ekonomi UKM perlu diarahkan dari survival menuju sustainable. UMK Indonesia perlu transformasi paradigma dari sekadar "cari makan" ke "membangun bisnis berkelanjutan". Hal ini memerlukan:
- Sinergi Triple Helix (pemerintah, swasta, akademisi) untuk pendampingan holistik.
- Pendidikan literasi bisnis sejak dini (misal: kurikulum kewirausahaan di sekolah).
- Teknologi sebagai Pengungkit, bukan sekadar tren.
- Kebijakan determinatif pemerintah untuk mendorong kemitraan UMK dengan usaha menengah-besar
Kesemuanya ini memerlukan kehadiran pemerintah secara penuh, konsisten dan berkelanjutan. Perubahan tidak bisa instan, tapi dengan konsistensi dan kolaborasi, UMK Indonesia bisa menjadi pilar ekonomi yang tidak hanya survive, tapi juga mendorong kemandirian bangsa, bahkan menjadi mainstream menuju Indonesia maju 2045.
Koperasi
Koperasi adalah bagian dari UMKM yang perlu mendapat dukungan bukan sebatas populis tetapi substantif.
Jumlah koperasi aktif (data 2022-2023) secara total sekitar 127.000 termasuk sekitar 7.000 KUD (Kementerian Koperasi dan UKM, 2022). Koperasi tidak aktif/bermasalah sekitar 30.000 (masalah likuiditas, manajemen, atau legalitas), termasuk KUD yang stagnan dan menghadapi masalah likuiditas atau macet. Jumlah anggota koperasi aktif 27 juta orang (2022) dengan asset Rp 250 triliun (2022).
Sejarah perkembangan di Indonesia selama Orde Baru (1965–1998), koperasi cenderung dijadikan ‘alat politik’ ekonomi dengan pendekatan top-down. Pertumbuhan kuantitas memang pesat (dari 5.000 koperasi pada 1965 menjadi 55.000 pada 1998), tetapi banyak yang tidak mandiri.
Di era reformasi sejak 1998, banyak koperasi kolaps karena ketergantungan pada pemerintah. Pada 2000–2010, kebijakan desentralisasi dan UU No. 25/1992 direvisi (UU No. 17/2019) dalam rangka memperkuat otonomi koperasi. Sejak 2014–sekarang pemerintah fokus pada revitalisasi koperasi melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan digitalisasi. Dan yang terakhir sedang dikembangkan Koperasi Merah Putih sebanyak 80 ribu yang mudah-mudahan tidak menjadi alat politik kekuasaan karena top-down, serta menjadi lahan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Menurut sumber Kemenkop 2022, sektor usaha yang dominan dari koperasi adalah Simpan Pinjam (KSP) 54% dari total koperasi, sektor pertanian dan perikanan: 18%; koperasi Konsumsi/Jasa: 15%, koperasi Produksi/Industri Kecil 8%, koperasi usaha lainnya 5% (multipurpose, koperasi serba usaha).
Peran koperasi dalam perekonomian ditunjukkan oleh indikator penyerapan tenaga kerja yang menyerap ± 1,2 juta pekerja langsung. Sekitar 60% UMKM terhubung dengan koperasi untuk akses modal dan pemasaran. Koperasi KSP berperan besar di daerah terpencil yang belum terjangkau bank.
Beberapa contoh koperasi sukses seperti Koperasi Warga Semesta (KOWASJA), koperasi simpan pinjam di Jawa Barat dengan aset Rp 1,5 triliun. Koperasi Susu Sapi Pasuruan (KPSP)mampu ekspor produk olahan susu ke ASEAN. Koperasi Batik Tulis Lasem (Rembang) mampu mengangkat produk batik lokal ke pasar global.
Koperasi di Indonesia tumbuh secara kuantitas, tetapi kualitas masih tertinggal. Untuk menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan, diperlukan pelatihan manajemen modern, pembiayaan mandiri (non-APBN), kolaborasi dengan fintech dan e-commerce serta transparansi pengelolaan (audit rutin). Isu sustainability yang harus terus diupayakan adalah bahwa koperasi harus beralih dari trauma "proyek politik populis" ke bisnis berbasis anggota.
Dalam era teknologi, otomatisasi, AI dan Machine Learning yang mendisrupsi pekerjaan, dan tantangan ekonomi hijau masa depan memberikan tantangan yang tidak mudah bagi pengembangan koperasi kedepan.
Epiloog
Berdasarkan ulasan diatas, UMKM di Indonesia masih dalam posisi yang relatif lemah dibandingkan dengan tuntutan perkembangan ekonomi modern, dinamika geo-ekonomi regional dan global, serta disrupsi ekonomi akibat teknologi dan AI.
Sementara itu limpahan angkatan kerja dan disrupsi pekerjaan makin menjadikan UMK (M) dan koperasi menghadapi tantangan yang berat, memerlukan keseriusan dan konsistensi pemerintah.
Kunci transformasi struktural bagi UMKM adalah memfasilitasi secara efektif dan cepat transisi ke ekonomi berbasis keterampilan tinggi + penguatan sektor padat karya yang adaptif dengan teknologi. Tanpa intervensi cepat, ketimpangan dan pengangguran akan bisa memburuk.
Pertanyaan besar yang masih menggantung adalah apakah pemerintah dan sistem kekuasaan yang ada dapat membenahi diri-sendiri dalam hal transformasi tata kelola (institusional) secara mendasar dan secepatnya, terutama di bawah pemerintahan Pak Prabowo? Sepertinya sulit ketika kita berkaca pada proses pemilu 2024 yang kontroversial. Lalu bagaimana sistem kekuasaan akan bisa mentransformasi SDM dan ekonomi rakyat menghadapi masa depan yang beringas, ketika ‘dirinya sendiri’ belum tertata rapi?.
Sistem kekuasaan oligarkis akan selalu berhadapan dengan harapan, tuntutan dan kegemasan masyarakat luas yang ingin memperbaiki taraf kesejahteraan hidupnya. Dan seperti kata bijak: "Kekuasaan yang tidak dapat menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, tidak akan bertahan."
Nasihat Nabi Sulaiman (Amsal 16:18): “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (*)
Penulis: Hadi Prasetya, pengamat sosial - ekonomi|Editor: Arifin BH