
JAKARTA (Lentera) - Proses penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (carbon capture and storage/CCS) memegang peranan penting dalam upaya menghambat laju pemanasan global. Namun, tantangan utamanya adalah teknologi yang ada saat ini masih mahal dan membutuhkan energi dalam jumlah besar, sehingga kerap kali justru bergantung pada bahan bakar fosil yang menjadi sumber emisi karbon itu sendiri.
Berdasarkan tantangan tersebut, para peneliti di Cornell University, Amerika Serikat, mengembangkan sistem penangkapan dan penyimpanan karbon yang memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi yang melimpah, ramah lingkungan, dan tanpa biaya. Dengan meniru cara tanaman mengikat karbon, pendekatan ini berpotensi mengurangi biaya dan emisi, serta menjadi alternatif berkelanjutan dibandingkan teknologi konvensional yang ada saat ini.
Karbon dioksida dikenal sangat sulit ditangkap karena sifat insersianya. Hadangan dari sifat tersebut menyebabkan para peneliti juga kalangan industri beralih ke amina senyawa organik turunan amonia yang mengandung nitrogen yang bereaksi hanya terhadap karbondioksida dan dapat menariknya dari campuran banyak senyawa. Tapi, amina terdegradasi saat terkena oksigen, memerlukan penggantian terus-menerus, yang mengakibatkan tingginya biaya untuk produksinya.
"Sejak awal laboratorium kami telah mencoba memikirkan bagaimana kami dapat menggunakan intuisi sebagai ahli kimia untuk menemukan jalur alternatif menangkap karbon dioksida," kata peneliti senior dalam tim itu, Phillip Milner, seorang profesor kimia dan biologi kimia di Cornell University dikutip dari artikel berita di website kampus itu yang terbit bersamaan dengan publikasi hasil penelitian di Jurnal Chem, 9 Mei 2025.
Hasilnya, mereka menemukan bisa memisahkan karbon dioksida dari emisi industri dengan meniru cara tumbuhan menyerap karbon. Dalam proses fotosintesis tanaman, enzim RuBisCo menggunakan sinar matahari untuk mengubah molekul enol yang stabil menjadi cukup reaktif untuk 'merengkuh' karbon.
Tim juga menggunakan sinar matahari untuk mengarahkan sebuah reaksi tambahan yang bisa melepaskan karbon dioksida untuk disimpan atau digunakan ulang. Dari sudut pandang kimia, Milner mengatakan, metode ini benar-benar baru baik untuk teknik menangkap atau menyimpan karbon.
“Ini sama sekali berbeda dari apa yang dilakukan orang lain dalam penangkapan karbon,” kata Milner. Dia menambahkan, seluruh mekanisme ini adalah ide Bayu Ahmad, 23 tahun, mahasiswa program pascasarjana yang juga peneliti pertama dalam tim. "Ketika ia pertama kali menunjukkannya, saya pikir itu tidak akan pernah berhasil. Ternyata berhasil."
Milner menuturkan, tim menggunakan 2-methylbenzophenone untuk memperkuat proses yang dikembangkan. Pengujian menunjukkan bahwa laju penangkapan karbon metode sinar matahari ini menyamai atau mengungguli teknologi lain yang digerakkan oleh cahaya.
Yang terpenting, kata Milner menambahkan, keseluruhan sistem beroperasi tanpa memerlukan pendinginan ekstensif antara penangkapan dan pelepasan karbon – salah satu hambatan energi utama dalam metode lainnya.
Apa yang didapat di laboratorium sering kali berbeda saat berhadapan dengan dunia nyata. Milner dkk menguji sistem mereka pada gas buang dari Combined Heat and Power Building Cornell, pembangkit listrik di kampus itu yang menggunakan gas alam sebagai sumber energinya. Hasilnya, mereka berhasil mengisolasi karbon dioksida.
“Mendapatkan gas buang asli dari industri sangatlah sulit, karena perusahaan tidak ingin orang tahu apa yang ke luar dari pembangkit listrik mereka,” kata Milner. “Tetapi Cornell bukanlah sebuah perusahaan – jadi ini adalah sesuatu yang unik yang dapat kami tawarkan dan kami harap akan beroperasi tahun depan.”
Ke depannya, kata Milner, tim tersebut membayangkan penerapan teknologi ini dalam bentuk instalasi yang menyerupai panel surya. Namun, alih-alih menghasilkan listrik, panel ini akan mengikat CO2 langsung dari udara, menghasilkan karbondioksida murni bertekanan tinggi yang dapat disimpan atau diubah di lokasi.
“Kami benar-benar ingin mencapai titik di mana kami dapat menghilangkan karbon dioksida dari udara, karena menurut saya itu adalah cara yang paling praktis,” kata Milner.
Manfaat dari inovasi ini tidak hanya terbatas pada karbon dioksida. Laboratorium Milner juga menyelidiki bagaimana pemisahan dengan tenaga sinar matahari dapat diterapkan pada gas industri lainnya. “Ada banyak peluang untuk mengurangi konsumsi energi dengan menggunakan cahaya untuk menggerakkan pemisahan ini, alih-alih listrik,” kata Milner.
Hal ini penting karena proses pemisahan menyumbang sekitar 15 persen dari konsumsi energi global. Alternatif bertenaga cahaya dapat memangkas angka tersebut secara signifikan, sejalan dengan tujuan keberlanjutan global.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber