
SURABAYA (Lentera) - Sebuah penelitian menunjukkan bahwa patah hati dapat meningkatkan risiko kematian, dengan pria sebagai kelompok yang paling rentan mengalaminya.
Dalam menjalin sebuah hubungan namun berakhir atau orang yang dicintai meninggal, kondisi emosional terasa begitu membebani sehingga sering kali terasa seperti hati hancur.
Tetapi, tidak hanya bersifat mental, hal ini juga berlaku untuk kesehatan fisik. Ada kondisi jantung yang disebut 'sindrom patah hati', yang secara medis dikenal sebagai kardiomiopati takotsubo, sebagaimana dikutip dari Hindustan Times pada Senin (19/5/2025).
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of American Heart Health menyelidiki hubungan ini dan mengungkapkan bahwa meskipun wanita lebih mungkin didiagnosis dengan penyakit ini, pria memiliki risiko lebih tinggi untuk meninggal akibat 'sindrom patah hati'.
Para peneliti memeriksa catatan rumah sakit dari 200.000 orang dewasa di Amerika Serikat yang menderita kardiomiopati Takotsubo antara tahun 2016 dan 2020.
Meskipun pasiennya lebih banyak wanita, yang menunjukkan bahwa wanita lebih mungkin mengalaminya, kondisi jantung ini lebih mematikan bagi pria.
Faktanya, pria dua kali lebih mungkin meninggal karena sindrom patah hati ini. Angka kematian pada pria mencapai 11,2 persen, dibanding pada wanita, hanya setengahnya yaitu 5,6 persen. Mereka yang meninggal menderita komplikasi serius seperti gagal jantung kongestif, detak jantung tidak teratur.
Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa stres emosional yang luar biasa merupakan salah satu pemicu kondisi jantung yang sangat nyata ini.
Sindrom patah hati dapat terjadi akibat guncangan emosional yang ekstrem, seperti kematian orang yang dicintai, putus cinta, atau pemicu emosional kuat lainnya.
Meskipun penelitian ini juga menjelaskan bagaimana stres emosional menjadi pemicu yang lebih umum pada wanita, namun stres fisik, seperti penyakit, cedera, atau pembedahan, lebih sering terjadi pada pria. Hal ini juga membantu menjelaskan mengapa pria memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi.
Studi itu juga menunjukkan bahwa menjaga kesejahteraan emosional tidak hanya penting untuk kesehatan mental tetapi juga dapat menyelamatkan jantung Anda.
Kenapa Pria Lebih Rentan?
Ketika berbicara tentang patah hati, kebanyakan orang mungkin membayangkan perempuan yang menangis tersedu-sedu di kamar. Namun, fakta mengejutkan dari berbagai penelitian psikologi dan medis menunjukkan bahwa pria justru bisa lebih rentan terhadap sindrom patah hati baik secara emosional maupun fisik. Ada beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab utama:
Stres Fisik Lebih Berat
Berbeda dari wanita yang sering mengalami sindrom ini karena stres emosional (seperti kehilangan orang tercinta), pria lebih banyak terpicu oleh trauma fisik serius, seperti kecelakaan, infeksi berat, atau operasi besar. Stres jenis ini memberikan beban lebih ekstrem pada jantung.
Minim Dukungan Emosional
Penelitian sosial menyebutkan pria cenderung enggan mengekspresikan emosi atau mencari bantuan psikologis, yang bisa memperburuk dampak stres.
Berbeda dengan perempuan yang cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan terbuka untuk berbagi cerita, banyak pria mengandalkan pasangan mereka sebagai satu-satunya sumber dukungan emosional. Ketika hubungan itu berakhir, mereka kehilangan "tempat aman" untuk mencurahkan isi hati.
Kondisi ini membuat pria lebih mudah merasa terisolasi, kesepian, dan hampa sebuah kombinasi yang dapat memperburuk kondisi mental pasca putus cinta.
Risiko Komplikasi Lebih Tinggi
Kasus takotsubo pada pria lebih sering berkembang menjadi komplikasi seperti syok kardiogenik, stroke, atau bahkan gagal jantung kongestif, yang memperbesar peluang kematian.
Sayangnya, selama periode penelitian, tingkat kematian akibat sindrom ini tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Oleh karena itu, para peneliti menekankan perlunya peningkatan kualitas perawatan bagi pasien, termasuk pemahaman lebih lanjut mengenai perbedaan hasil antara pria dan wanita.
Ahli jantung menyarankan agar Anda tidak mengabaikan gejala-gejala seperti nyeri dada atau sesak napas, meskipun terasa seperti hanya stres biasa. Segera periksa ke dokter jika mengalami keluhan tersebut, terutama setelah mengalami peristiwa emosional atau fisik yang berat.
Patah hati bukan hanya soal perasaan. Bagi sebagian orang, hal ini bisa menjadi awal dari kondisi jantung yang serius. Dan bagi pria, risikonya bisa jauh lebih mematikan dari yang selama ini dibayangkan.
Pria Lebih Sering Memendam Emosi
Secara budaya, pria sering diajarkan untuk menjadi "kuat", tidak menangis, dan tidak menunjukkan kelemahan. Akibatnya, ketika mengalami patah hati, banyak pria memilih untuk menyembunyikan emosinya daripada mengekspresikannya.
Padahal, menahan emosi hanya akan membuat stres emosional menumpuk. Tanpa mekanisme pelepasan yang sehat, hal ini bisa memicu kecemasan, depresi, bahkan gangguan fisik seperti insomnia dan tekanan darah tinggi.
Tekanan Sosial dan Maskulinitas Toksik
Pandangan bahwa pria tidak boleh menangis atau merasa rapuh adalah salah satu bentuk maskulinitas toksik yang masih melekat di banyak budaya. Tekanan ini membuat pria merasa bersalah jika mereka menunjukkan emosi, sehingga enggan untuk mencari bantuan atau berbicara tentang perasaan mereka.
Padahal, menyembunyikan rasa sakit justru memperburuk kondisi mental dan memperlambat proses pemulihan.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber