
JAKARTA (Lentera) - Aktris menawan Aurelie Moeremans baru-baru ini membagikan kabar terbaru melalui media sosial. Ia menyampaikan rasa sedihnya setelah menerima hasil pemeriksaan MRI. Istri dari Tyler Bigenho tersebut mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami kecelakaan yang meninggalkan dampak jangka panjang pada kondisinya.
Merasa cemas terhadap kondisi kesehatannya secara keseluruhan, Aurelie Moeremans akhirnya menerima diagnosis mengalami penyusutan otak atau cerebral atrophy. Mengacu pada informasi dari Lone Star Neurology, kondisi ini terjadi ketika ukuran otak mengecil dan kemampuan fungsionalnya menurun seiring waktu. Penyusutan otak dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti proses penuaan, faktor keturunan, hingga cedera otak akibat trauma.
Pada pasien yang mengalami penyusutan otak memiliki kondisi yang mengacu pada hilangnya sel dan jaringan otak secara progresif. Kondisi ini dapat memengaruhi orang-orang dari segala usia, tetapi paling sering terlihat pada orang dewasa yang lebih tua.
Penyusutan otak yang dialami oleh Aurelie terjadi di dua bagian lantaran adanya benturan keras di dua tempat tersebut. Dalam videonya, Aurelie Moeremans mengaku penyusutan otak tersebut berpengaruh pada fokus, memori, hingga keseimbangan emosi.
Hal ini dibenarkan oleh dr. Pukovisa Prawiroharjo, SH, Sp.N, Subsp. NGD(K), PhD Staf pengajar FKUI yang menyebut otak bagian tengah menjadi paling bagian yang paling sering terdampak akan benturan yang bisa menyebabkan penyusutan otak.
"Otak bagian tengah itu berorientasi pada memori, kemudian perasaan ya jadi pusat sistem emosi. Nah itu yang paling sering muncul (gejalanya) dan langsung kelihatan gitu ya. Tapi ada juga yang lebih ringan jadi ya misalnya gangguan amnesia yang ringan tapi nggak sampai yang lupa," jelas dr. Pukovisa.
Penyebab penyusutan otak
Lebih lanjut, dr. Pukovisa juga menjelaskan penyusutan otak bisa terjadi akibat adanya benturan keras, penyakit metabolik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, infeksi tumor, alzhemier, hingga adiksi terhadap obat-obatan. Pada kasus kecelakaan, penyusutan otak mungkin terjadi akibat adanya benturan keras ketika adanya perubahan kecepatan secara mendadak dan membentur kepala. Saat kepala terbentur dengan sangat keras otak akan mengalami goncangan hebat yang mengakibatkan terputusnya saraf antar sel, inflamasi, hingga pendarahan yang menekan otak.
"Semakin dahsyat ya semakin berat ya bahkan ada yang sampai meninggal atau koma dalam waktu lama," tambah dr. Pukovisa.
Meski demikian, pasien dengan penyusutan otak masih memiliki harapan untuk sembuh asal melakukan pengobatan secara intensif dalam golden period selama enam bulan. Sayangnya, banyak pasien dengan penyusutan otak yang terlalu lama tenggelam dalam emosi sehingga kehilangan semangat untuk melakukan pengobatan. Oleh karena itu, support system dari orang-orang di sekitarnya menjadi sangat penting agar pasien menjadi lebih semangat menjalani perawatan.
"Setiap pasien butuh training, retraining baru untuk pulih. Retraining baru itu program emasnya itu di enam bulan pertama itu. Kalau perlu tiap hari, saya akan minta tiap hari (pasien) datang untuk latihan. Nanti modulnya akan disesuaikan kita sesuaikan. Kalau menurut penelitiannya minimal sekali tiga kali seminggu (untuk latihan)," kata dr. Pukovisa.
Golden Period
dr. Pukovisa menjelaskan pasien akan memperlihatkan hasil pemulihan yang cukup signifikan dalam satu bulan latihan selama masih dalam Golden Period enam bulan. Setelah itu perlu dilakukan terapi dan perawatan lanjutan untuk memaksimalkan hasil pemulihan hingga akhirnya bisa kembali normal.
Pengobatan biasanya diawali dengan observasi secara menyeluruh untuk memastikan tidak ada lagi serangan yang akan merusak otak dan otak sendiri masih memiliki fungsi regeneratif. Kondisi tubuh secara menyeluruh harus benar-benar kondusif sebelum memulai proses perawatan. Setelah itu, akan dilakukan observasi gejala yang akan diklasifikasi dengan skoring. Skoring inilah yang nantinya akan menentukan jenis terapi, perawatan, dan obat yang harus dikonsumsi setiap pasien.
Proses training akan melatih dan menstimulus sel otak yang masih tersisa untuk menjalankan fungsi sel otak yang telah rusak agar tubuh bisa berfungsi normal. dr. Pukovisa mengibaratkan 10 kuli bangunan yang sedang membangun rumah. Ketika satu orang tidak berfungsi, maka sisa sembilan orang untuk menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, sembilan orang sisanya akan dilatih kembali untuk bisa menjalankan 10 fungsi agar proses pembangunan berjalan normal.
Sementara itu gejala dari penyusutan bisa bervariasi tergantung pada tingkat keparahan kondisi dan area otak yang terpengaruh. Secara umum, berikut beberapa gejala,
Kehilangan Memori
Salah satu gejala atrofi serebral yang paling umum adalah kehilangan memori. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai kesulitan mengingat kejadian terkini atau melupakan tanggal atau janji penting. Selain itu, kesulitan mengingat informasi baru dapat terjadi.
Kesulitan Berbicara atau Memahami Bahasa
Hal ini juga dapat memengaruhi area otak yang bertanggung jawab untuk memproses bahasa. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan berbicara atau memahami bahasa. Dan masalah dengan membaca dan menulis dapat terjadi.
Masalah dengan Gerakan dan Koordinasi
Kondisi ini memengaruhi bagian otak yang bertanggung jawab untuk gerakan dan koordinasi. Hal ini dapat menyebabkan masalah dengan keseimbangan, kesulitan berjalan, dan tremor atau gemetar.
Perubahan Suasana Hati
Atrofi serebral juga dapat menyebabkan perubahan suasana hati dan perilaku. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai depresi, kecemasan, mudah tersinggung, atau apatis.
Penurunan Kognitif
Seiring perkembangan atrofi serebral, hal ini dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Ini dapat mencakup kesulitan dalam memecahkan masalah, rentang perhatian yang berkurang, dan masalah dalam pengambilan keputusan.
Berpengaruh pada Kondisi Mental
Kondisi ini sangat memengaruhi kemampuan mental seseorang. Akibatnya, kondisi ini dapat memperburuk kehidupan pasien. Dan menyebabkan konsekuensi negatif yang tidak dapat dipulihkan. Namun, penyakit ini dapat berkembang selama bertahun-tahun.
Ketika gejala pertama terdeteksi, pasien memiliki waktu untuk menjalani terapi. Hal ini dapat memperlambat perubahan yang tidak dapat dipulihkan dan memperbaiki kondisi pasien.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber