15 June 2025

Get In Touch

“Bagong Crying Soul” Panggung Sunyi Gen Z yang Ingin Didengar

Pertunjuklan seni bertajuk “Bagong Crying Soul”
Pertunjuklan seni bertajuk “Bagong Crying Soul”

SURABAYA (Lentera) -  Berdasarkan data WHO, satu dari tujuh remaja usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental, sementara data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 menunjukkan lonjakan hingga 25 persen dalam dua tahun terakhir, kasus depresi dan kecemasan remaja didominasi faktor tekanan sosial, cyberbullying, dan kekerasan dalam rumah.

Berlatar belakang hal itu, Dosen International Business Management Universitas Ciputra (UC) Surabaya, Henry Susanto Pranoto menggelar pertunjuklan seni bertajuk “Bagong Crying Soul” di Dian Auditotium UC Surabaya, Sabtu (14/6/2025).

Pertunjukan ini bukan sekadar tontonan, melainkan jeritan hati generasi muda khususnya Gen Z yang kerap memendam luka dalam diam. 

Melibatkan mahasiswa UC dan siswa Sekolah Citra Berkat Surabaya, karya ini disiapkan selama satu semester penuh sebagai ruang aman untuk menyuarakan keresahan, trauma, dan harapan yang lama terpendam.

“Mereka terlihat ceria di luar, aktif di media sosial, tapi banyak yang terluka di dalam. Saya ingin mereka belajar bahwa mengekspresikan emosi bukanlah kelemahan,” kata Henry dalam sambutannya.

Henry menjelaskan, Bagong merupakan tokoh wayang yang biasa tampil jenaka, menjadi simbol sentral dalam pementasan ini. Namun di tangannya, Bagong tidak hanya menjadi penghibur, ia adalah cermin dari generasi muda yang tersenyum sambil memikul beban menjadi korban perundungan, tekanan sosial, bahkan kekerasan domestik, tanpa pernah benar-benar didengarkan.

“Jika kita tidak memberi mereka ruang untuk bersuara, mereka akan terus menanggung luka itu sendiri. Dan dalam banyak kasus, itu berujung pada tindakan ekstrem seperti menyakiti diri hingga bunuh diri,” jelasnya. 

Menariknya, pertunjukan ini turut menghadirkan musik orisinal ciptaan Henry serta komposisi kolaboratif dengan kecerdasan buatan (AI). Para penonton diajak merasakan perbedaan nuansa emosional antara ciptaan manusia dan teknologi sekaligus sebagai pesan bahwa AI bisa menjadi alat bantu, bukan pengganti kemanusiaan kita.

Tak hanya itu, penataan panggung didesain menjangkau hingga ke dalam penonton, menciptakan interaksi emosional langsung antara pemeran dan audiens. Beberapa adegan diangkat dari kisah nyata, termasuk pengalaman seorang mahasiswa yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan perundungan.

"Jadi, kita ingin mengajak penonton tidak hanya menyaksikan, tapi ikut merasakan," tuturnya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, “Bagong Crying Soul” adalah manifestasi kepedulian dunia pendidikan dan seni terhadap krisis mental anak muda. Lewat pertunjukkan ini, ia berharap menjadi langkah awal menuju gerakan kolektif dalam menciptakan ruang aman, suportif, dan penuh kasih bagi Gen Z.

“Seni adalah bahasa paling jujur yang bisa menjangkau luka terdalam manusia,” tutup Henry.

Reporter: Amanah/Editor: Ais

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.