
SURABAYA (Lentera) - Tahukah kamu bahwa lebih dari 50% bayi di Indonesia sudah mengalami anemia sebelum mereka berusia 6 bulan? Anemia bukan hanya soal kekurangan darah, tapi kondisi serius yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak, terutama perkembangan otaknya.
Fakta ini disampaikan dalam Seminar Media Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang diselenggarakan pada 17 Juni 2025, dengan fokus utama pada Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada bayi dan anak.
Seminar ini menghadirkan pembicara dari bidang hematologi onkologi anak IDAI yang memaparkan data terkini soal tingginya angka ADB di Indonesia. Salah satu temuannya yang cukup mengejutkan, prevalensi anemia pada bayi usia 1–4 bulan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mencapai 58,6%, dan angka tersebut terus bertahan tinggi hingga usia 5 bulan. Bahkan, sebagian besar kasus anemia ditemukan pada bayi usia 0–2 bulan, yang seharusnya sedang berada dalam masa pertumbuhan emas.
Melalui seminar ini, IDAI menekankan pentingnya pencegahan dan intervensi sejak dini, karena jika dibiarkan, anemia bisa mengganggu perkembangan kognitif anak dan berisiko menyebabkan dampak yang bersifat permanen.
Apa Itu Anemia Defisiensi Besi?
Anemia defisiensi besi (ADB) terjadi ketika tubuh kekurangan zat besi, sehingga produksi hemoglobin (Hb)—komponen penting dalam sel darah merah menurun. Akibatnya, suplai oksigen ke jaringan tubuh jadi terganggu.
Pada bayi dan anak-anak, kondisi ini bisa menyebabkan Anak tampak pucat, mudah lelah, dan kurang aktif saat bermain. Ia juga sering rewel tanpa sebab yang jelas, mengalami kesulitan berkonsentrasi, serta menunjukkan adanya gangguan pada kemampuan motorik dan sensoriknya.
Menurut kriteria WHO (2001), bayi dan anak dianggap anemia jika kadar hemoglobinnya di bawah 11 g/dL. Kondisi ini sering tak disadari karena gejalanya samar, tapi dalam jangka panjang bisa menghambat kemampuan belajar dan produktivitas anak.
Tingginya Angka ADB Bayi Indonesia
Dalam presentasi seminar, disampaikan data yang sangat memprihatinkan terkait kasus anemia defisiensi besi (ADB) pada bayi. Di Banjarbaru pada tahun 2022, tercatat 58,6% bayi usia 1–4 bulan mengalami ADB.
Sementara itu, pada tahun 2024, sebanyak 40,8% bayi usia 5 bulan juga terdeteksi mengalami kondisi yang sama. Yang lebih mengkhawatirkan, 83,7% kasus ADB ditemukan pada bayi berusia 0–2 bulan. Bahkan, berdasarkan pemeriksaan Ret-He, sebanyak 2,9% bayi baru lahir (usia 0–2 hari) sudah mengalami defisiensi zat besi sejak lahir.
Faktor risiko utama anemia defisiensi besi (ADB) pada bayi meliputi kondisi ibu yang mengalami anemia selama kehamilan, serta cadangan zat besi bayi yang sudah rendah sejak lahir.
Selain itu, pola makan ibu menyusui yang rendah kandungan zat besi juga berperan, ditambah dengan pemberian ASI eksklusif tanpa suplementasi zat besi. Risiko ADB juga meningkat pada bayi yang lahir prematur atau memiliki berat badan lahir rendah.
Anemia Bisa Terjadi pada Anak Gemuk
Anak dengan berat badan berlebih justru memiliki risiko lebih tinggi mengalami anemia. Pasalnya, kebutuhan darah meningkat seiring bertambahnya berat badan. Jika asupan zat besi tidak mencukupi, produksi sel darah merah tidak seimbang, dan anemia tetap bisa terjadi meski anak tampak sehat dari luar.
“Setiap 1 kg berat badan anak mengandung sekitar 75–80 cc darah. Kalau beratnya lebih besar, kebutuhan zat besinya juga makin banyak, sementara asupan dari ASI atau makanan belum tentu cukup,” ujar Prof. Dr. dr. Harapan Parlindungan Ringoringo, Sp.A., Subsp.H.Onk.
Kapan Harus Mulai Berikan Zat Besi?
Pemberian suplementasi zat besi sebaiknya dimulai sejak usia dini sesuai dengan kondisi bayi. Untuk bayi cukup bulan, disarankan mulai mendapatkan suplementasi zat besi sebesar 1 mg/kg berat badan per hari sejak usia 4 bulan. Sementara itu, bayi prematur perlu memulai lebih awal, yaitu sejak usia 2 bulan, dengan dosis yang lebih tinggi yaitu 2–3 mg/kg berat badan per hari. Terapi ini umumnya diberikan selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan selama 1 bulan tambahan guna membangun cadangan zat besi dalam tubuh.
Bagaimana dengan Remaja Putri?
Fokus seminar juga menyinggung kelompok remaja putri yang juga rentan anemia, terutama akibat menstruasi, pertumbuhan cepat, dan pola makan yang tidak seimbang. Pemerintah sudah menjalankan program tablet tambah darah (TTD) untuk remaja putri di sekolah, dengan target konsumsi 1 tablet per minggu selama 52 minggu. Namun, sayangnya cakupan program ini masih rendah, dan hanya sekitar 2–3% yang benar-benar mengikuti anjuran tersebut secara penuh.
Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
Pencegahan anemia bukanlah hal yang sulit, asalkan dilakukan sejak dini dan secara konsisten. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain memberikan ASI eksklusif dan berkonsultasi dengan dokter mengenai kebutuhan suplementasi zat besi. Selain itu, pastikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang diberikan tinggi kandungan zat besi, seperti hati ayam, daging merah, ikan, dan brokoli.
Hindari pemberian minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti teh dan kopi, terutama saat makan. Perhatikan juga berat badan anak agar tetap dalam rentang ideal—tidak terlalu rendah maupun berlebihan. Terakhir, lakukan pemeriksaan hemoglobin saat anak berusia satu tahun, terutama jika terdapat faktor risiko anemia sejak bayi.
Cegah Anemia, Lindungi Masa Depan Anak
Anemia defisiensi besi bukan hanya soal “kurang darah”. Ini adalah kondisi serius yang bisa berdampak pada tumbuh kembang otak dan prestasi anak. Jika tidak dicegah sejak dini, efeknya bisa permanen dan menurunkan kualitas sumber daya manusia bangsa.
Yuk kita mulai dari rumah! Pastikan anak-anak kita tumbuh dengan cukup zat besi agar siap menghadapi masa depan dengan tubuh sehat dan jauh dari penyakit.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber