
KOLOM (Lentera) - Pekan ini, dunia kehilangan salah satu ikon legendaris yang tanpa sadar membentuk masa kecil jutaan milenial: Shunsaku Tamiya, sosok di balik merek legendaris Tamiya 4WD.
Bagi banyak orang Indonesia yang tumbuh di era ’90-an dan 2000-an, nama Tamiya bukan sekadar mainan — ia adalah simbol kebersamaan, kompetisi sehat, kreativitas, dan rasa bangga memiliki sesuatu yang “dirakit sendiri.”
Saya masih inget, semasa SMP bersama temen-teman, kami memainkan Tamiya. Mulai dari merakit hingga mengadu mobil siapa yang tercepat.
Ngomong-omong tentang Tamiya, Tamiya mengajarkan kita bahwa brand yang kuat bukan hanya soal produk, tapi soal perasaan. Ini adalah bentuk tertinggi dari 'emosional branding', sebuah strategi yang semakin penting dalam pengembangan bisnis saat ini.
Apa Itu Emosional Branding? Yuk kita bahas
Emosional branding adalah pendekatan membangun merek dengan menekankan ikatan emosional antara produk/jasa dan konsumennya. Ini bukan sekadar soal menjual fitur, tapi soal membangun makna.
Menurut laporan Harvard Business Review (Zaltman, 2016), 95% keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh emosi, bukan logika. Coba tanyakan, ke Bapak-bapak yang masih main mobil tamiya di sebuah mall di jalan A.Yani Surabaya. --mereka tidak hanya membeli mobil mini — mereka membeli kenangan, kebanggaan, dan pengalaman.
Brand seperti Tamiya tidak perlu selalu kampanye besar-besaran. Cukup dengan mempertahankan karakter, menguatkan di komunitas, mereka bertahan lintas generasi.
Saya coba merefleksikan beberapa pelajaran Bisnis dari Tamiya
1. Produk Berkualitas Tak Cukup, Perlu Ikatan Emosional
Banyak produk lokal yang bagus secara teknis tapi gagal membangun cerita. Tamiya punya keunggulan mekanis, tapi juga membangun cerita kompetisi, kebersamaan, dan kreativitas — lewat merchandise, majalah, komunitas, hingga film animasi. --Hayo jujur, Anda dulu pasti punya kaos Tamiya? ?
2. Komunitas Adalah Aset Brand
Komunitas Tamiya bukan dibentuk oleh perusahaan, tapi oleh para penggemar yang merasa terlibat. Ini adalah contoh user-generated branding yang luar biasa. Dalam bisnis kita, komunitas loyal bisa menjadi corong pemasaran yang lebih kuat daripada iklan.
3. Konsistensi Karakter Brand Menumbuhkan Kepercayaan
Sejak awal, Tamiya selalu menjaga estetika, kualitas, dan gaya penyampaian yang khas. Branding mereka tidak berubah-ubah, tapi berevolusi secara relevan.
Nah Sekarang, bagaimana Kita Bisa Mengaplikasikannya?
Sebagai pelaku usaha, terutama dalam bisnis pengembangan, berikut beberapa rekomendasi sederhana dari saya untuk membangun emosional branding:
Satu, Cerita adalah Kunci - Buat narasi: apa alasan bisnis ini ada? Siapa yang terbantu? Apa nilai yang diperjuangkan?
Kedua, Libatkan Audiens, Jangan Sekadar Menjual.
Ajak audiens membuat konten, berbagi pengalaman, atau memberi masukan. Rasa memiliki terhadap brand menumbuhkan loyalitas.
Yang ketiga, dan penting untuk selalu kita ingat: Jaga Konsistensi Nilai
Jangan tergoda mengejar tren sesaat jika itu menjauh dari karakter brand Anda. Nilai yang kokoh akan bertahan lebih lama daripada sensasi viral.
Happy Weekend... Kita mungkin tidak akan pernah melihat lagi produk selegendaris Tamiya. Tapi kita bisa meniru satu hal penting dari Shunsaku Tamiya: bangun brand yang tidak hanya dikagumi, tapi juga dicintai.
Selamat jalan, Tuan Tamiya. Warisan Anda bukan hanya mobil mini — tapi juga nilai besar bahwa bisnis terbaik adalah yang menyentuh hati.
Ngomong-omong, mau janjian adu kompetisi sama Tamiya saya kah? ?
Penulis: Suhardiman Eko, Business Development Lentera Media Group/Editor: Ais