SURABAYA (Lentera) -Waktu paparan layar (screen time) yang berlebihan pada anak dan remaja kini menjadi perhatian serius. Semakin lama mereka menghabiskan waktu di depan gawai atau monitor, semakin besar pula dampaknya terhadap perkembangan fisik, mental, dan emosional.
Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan
Guru Besar Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Nanik Indahwati bersama tim.
Dalam penelitiannya, Prof. Nanik melibatkan 355 siswa SMP di Surabaya berusia 12–15 tahun pada 2024.
Rata-rata screen time harian anak-anak mencapai 5,9 jam, atau sekitar 41,3 jam dalam seminggu. Waktu paling banyak dihabiskan pada malam hari (70,7%), disusul sore hari (21,1%), siang (7,3%), dan pagi (0,8%).
“Sebanyak 91,5% penggunaan gawai adalah untuk media sosial dan bermain gim, hanya 8,5% yang digunakan untuk belajar atau pekerjaan sekolah,” kata Prof. Nanik, Senin (28/7/2025).
Ia menjelaskan, paparan layar berlebihan berdampak serius pada kesehatan mental anak. Mulai dari gangguan kecemasan, depresi, hingga masalah konsentrasi dan impulsivitas. Bahkan, banyak anak yang lupa makan atau memiliki pola tidur yang berantakan, sehingga memengaruhi kondisi fisik dan kestabilan emosional mereka.
“Paparan cahaya biru juga bisa mengganggu produksi melatonin, hormon pengatur tidur. Akibatnya, ritme sirkadian tubuh terganggu, yang berujung pada stres dan gangguan emosional,” jelasnya.
Selain itu, kurangnya aktivitas fisik dan interaksi sosial juga menjadi imbas. Padahal, keduanya sangat penting bagi pelepasan endorfin yang menenangkan pikiran, serta pengembangan keterampilan komunikasi dan empati.
Prof. Nanik menegaskan pentingnya pendampingan orang tua dan sekolah, termasuk membatasi screen time sesuai usia anak. WHO merekomendasikan durasi screen time maksimal 1 jam sehari untuk anak usia 2–4 tahun, dan maksimal 2 jam sehari untuk usia 5–17 tahun.
“Pendampingan tidak hanya soal waktu, tapi juga konten. Orang tua perlu memilihkan konten yang edukatif dan sesuai usia. Selain itu, dorong anak untuk rutin bergerak dan berinteraksi langsung di dunia nyata,” tutupnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH