
SURABAYA (Lentera) -Burnout bukan lagi sekadar istilah populer di kalangan pekerja kantoran, kondisi ini kini menjadi fenomena kesehatan mental yang semakin umum di berbagai kalangan.
Menurut data World Health Organization (WHO), burnout diklasifikasikan sebagai sindrom akibat stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola, dengan gejala utama berupa kelelahan ekstrem, sikap sinis terhadap pekerjaan, dan penurunan efektivitas profesional.
Di Indonesia, survei dari YouGov pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pekerja mengaku pernah mengalami tanda-tanda burnout, terutama di usia 25–35 tahun. Kelompok yang paling rentan termasuk profesional muda, tenaga kesehatan, pelajar, dan ibu rumah tangga multitasking.
Dampaknya tidak main-main, burnout dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, bahkan kehilangan makna dalam aktivitas sehari-hari. Jika dibiarkan, kualitas hidup dan produktivitas pun bisa menurun drastis.
Kekhawatiran akan dampak burnout belakangan ini mencuat seiring dengan kasus kematian diplomat muda Kementrian Luar Negeri.
Pada masa-masa akhir kehidupannya sebagai seorangan diplomat, mendiang mengemban peran melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang terjebak dalam situasi krisis demi memastikan negara hadir bagi mereka di luar negeri.
“Yang (peran) ini semua tentu menimbulkan dampak seperti burnout, compassion fatigue atau kelelahan kepedulian, terus menerus terpapar dengan pengalaman-pengalaman penderitaan, trauma,” kata Nathanael dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, dikutip dari Kompas, Rabu (30/7/2025).
Penyebab burnout
Disarikan dari WebMD dan Medical News Today, ada beberapa penyebab burnout yang umum ditemui, seperti memiliki beban kerja yang tidak bisa dikendalikan, mendapatkan perlakuan tidak adil ketika bekerja, tidak memiliki uraian tugas yang jelas, serta memiliki komunikasi yang buruk atau tidak mendapatkan dukungan dari atasan.
Kelompok yang paling rentan mengalami burnout adalah profesional muda, tenaga kesehatan, pelajar, dan ibu rumah tangga multitasking.
Dampaknya tidak main-main burnout dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, bahkan kehilangan makna dalam aktivitas sehari-hari. Jika dibiarkan, kualitas hidup dan produktivitas pun bisa menurun drastis.
Nathanael mengatakan, kecurigaan burnout yang dialami almarhum diplomat muda tersebut berpengaruh negatif pada kondisi mentalnya.
"Meskipun demikian kami menemukan bahwa pada almarhum ada riwayat di mana berupaya untuk mengakses layanan kesehatan mental secara daring,” ujar dia.
“Terakhir kali, dari data-data yang dihimpun, kami melihat kurang lebih pada tahun 2021. Awalnya dari data yang dihimpun dari tahun 2013,” tambah dia lagi (*)
Editor: Arifin BH