
SURABAYA (Lentera) - Walaupun prinsip “setiap perempuan itu cantik” terus digaungkan hingga kini, kenyataannya standar kecantikan masih memengaruhi pandangan banyak orang. Nilai-nilai kecantikan ini dibentuk oleh budaya masyarakat dan diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Misalnya, salah satu standar kecantikan di Indonesia adalah perempuan harus berkulit cerah atau putih. Padahal, Indonesia adalah negara tropis. Dikutip dari laman Human Origins, orang-orang yang tinggal di daerah tropis umumnya akan memiliki warna kulit cenderung lebih gelap.
Standar kecantikan memang kerap tidak masuk akal, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia.
Standar kecantikan di berbagai negara berbeda-beda, karena biasanya berkaitan dengan budaya masing-masing. Berikut beberapa di antaranya dikutip dari laman Bright Side dan The SHS Courier
Alis Menyatu - Tajikistan
Bagi perempuan di Tajikistan, memiliki rambut alis yang tebal dan menyatu secara alami dianggap sebagai simbol kecantikan. Ciri fisik ini diyakini memperkuat penampilan dan daya tarik seorang perempuan, sehingga banyak yang berupaya untuk mendapatkannya.
Untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, para perempuan di negara yang dijuluki Atap Dunia ini biasanya menggunakan ramuan tradisional yang terbuat dari daun usma. Ramuan ini dioleskan secara rutin ke area alis agar pertumbuhan rambut semakin lebat dan akhirnya menyatu di bagian tengah.
Tak hanya digunakan oleh perempuan dewasa, ramuan usma juga kerap dipakai oleh para orang tua untuk anak-anak mereka yang dianggap memiliki alis tipis atau terpisah. Jika usaha dengan ramuan belum berhasil, langkah selanjutnya adalah menggambar “jembatan” di antara alis menggunakan pensil alis, menciptakan ilusi alis menyatu yang sesuai dengan standar kecantikan lokal.
Leher Panjang - Thailand
Leher panjang merupakan standar kecantikan sekaligus simbol identitas perempuan dalam suku Kayan di Thailand. Ciri khas ini diperoleh dengan cara mengenakan kalung kuningan yang berat secara bertahap, dimulai sejak usia sekitar lima tahun. Seiring waktu, penambahan gelang tersebut menciptakan ilusi leher yang semakin panjang, yang dianggap menambah daya tarik dan keanggunan.
Tradisi mengenakan kalung kuningan ini telah berlangsung selama beberapa generasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya suku Kayan. Meskipun awalnya merupakan tradisi, praktik ini kini dianggap sebagai standar kecantikan bagi perempuan suku tersebut. Sejarah asal-usulnya pun beragam, mencerminkan kompleksitas makna di balik praktik unik ini.
Beberapa versi cerita menyebutkan bahwa tradisi ini muncul sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan dari perbudakan—dengan penampilan yang dianggap aneh, perempuan tidak akan menarik minat para penculik. Sementara versi lainnya menyatakan bahwa leher panjang melambangkan naga, makhluk mitologis yang dihormati dalam cerita rakyat setempat, dan dengan demikian, perempuan berleher panjang dianggap memiliki kekuatan serta keindahan yang istimewa.
Rambut Kepang - Namibia
Standar kecantikan perempuan suku Himba di Namibia sangat berkaitan erat dengan gaya rambut yang mereka tampilkan. Salah satu ciri khas yang menonjol adalah kepangan rambut yang diolesi dengan otjize, yaitu campuran tanah merah, lemak hewani, dan bahan alami lainnya. Warna merah dari otjize bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mencerminkan kekuatan, kecantikan, dan hubungan dengan bumi.
Kepangan rambut tersebut biasanya dipadukan dengan berbagai bahan tambahan seperti potongan jerami, bulu kambing, serta ekstensi rambut buatan. Semua elemen ini dirangkai secara teliti untuk menciptakan tampilan rambut yang unik dan mencolok. Proses penataan rambut ini juga merupakan bagian penting dari identitas budaya dan menunjukkan status sosial perempuan dalam komunitas mereka.
Rambut yang tebal, rapi, dan berkilau dianggap sebagai tanda kesuburan dan kesehatan. Karena itulah, gaya rambut ini menjadi daya tarik utama di mata para pria suku Himba. Bagi perempuan Himba, menjaga dan merawat kepangan rambut bukan sekadar soal penampilan, melainkan juga bagian dari warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Gingsul - Jepang
Gingsul, yang secara medis dianggap sebagai kelainan karena tumbuh di posisi yang tidak semestinya, justru memiliki makna berbeda dalam budaya Jepang. Di sana, perempuan bergingsul dianggap sangat menggemaskan dan terlihat lebih muda, sehingga gingsul menjadi bagian dari standar kecantikan yang unik dan cukup populer di kalangan masyarakat.
Dalam bahasa Jepang, gingsul dikenal dengan istilah “yaeba” yang berarti “gigi ganda.” Tren yaeba bahkan mendorong banyak perempuan untuk menjalani prosedur kosmetik dengan memasang gigi palsu di atas taring agar tampak memiliki gingsul. Fenomena ini menunjukkan bagaimana persepsi kecantikan bisa sangat bervariasi di setiap budaya, bahkan terhadap sesuatu yang dianggap kekurangan di tempat lain.
Gigi Tajam - Malawi
Di Malawi, gigi yang tajam atau runcing dianggap sebagai simbol keanggunan dan daya tarik. Keyakinan ini telah mengakar dalam budaya setempat, sehingga banyak perempuan merasa perlu menyesuaikan penampilan mereka agar sesuai dengan standar kecantikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memahat gigi agar membentuk ujung yang runcing, menciptakan kesan eksotis yang dianggap menarik oleh masyarakat.
Meskipun proses pemahatan gigi ini sangat menyakitkan dan berisiko, banyak perempuan Malawi tetap melakukannya, terutama para istri yang ingin menyenangkan suaminya atau tampil lebih menarik di hadapan komunitas. Tindakan ini mencerminkan betapa kuatnya pengaruh budaya terhadap persepsi kecantikan, bahkan ketika harus mengorbankan kenyamanan dan kesehatan demi memenuhi ekspektasi estetika yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Wajah Tirus dan Mungil - Korea Selatan
Kalau kamu menggemari drama Korea, kamu pasti tahu kok kriteria wanita cantik yang ada di negara tersebut. Selain memiliki kulit mulus, seseorang yang dianggap cantik yaitu memiliki wajah tirus dan mungil. Sayangnya, rata-rata wanita Korea memiliki rahang yang panjang dan berbentuk kotak, selain itu mata mereka pun agak sipit.
Nah, untuk menyiasati hal tersebut di Korea Selatan sudah menjadi hal yang wajar dengan operasi plastik. Saking wajarnya, jika kamu pergi ke Korea Selatan, dipinggir-pinggir jalan kamu akan menemukan iklan agar warganya melakukan operasi plastik.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber