
MALANG (Lentera) - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang menegaskan hingga kini belum ditemukan kasus gangguan pendengaran yang secara khusus disebabkan oleh paparan sound horeg. Meski demikian, masyarakat diminta tetap waspada karena kebisingan dengan frekuensi tinggi berpotensi merusak pendengaran dalam jangka panjang.
"Kalau kasus gangguan pendengaran yang penyebab satu-satunya karena sound horeg, sampai sekarang ini belum ada," ujar Kepala Dinkes Kota Malang, Husnul Muarif, Senin (18/8/2025).
Diberitakan, musik dengan suara keras hingga menggetarkan sekitar, atau biasa disebut sound horeg, terus menuai pro-kontra. Sebagian mendukung, sebagian mengharamkan.
Fenomena sound horeg menghebohkan Jawa Timur. Saking hebohnya, bahkan politisi hingga wakil presiden pun menggunakannya untuk menarik massa saat kampanye pemilihan presiden. Belakangan, ada pihak yang menyatakan keberadaan jenis hiburan tersebut haram.
Menurut Husnul Muarif, suara dengan frekuensi tinggi tidak serta-merta membuat seseorang kehilangan pendengaran secara instan. Dampaknya biasanya baru dirasakan setelah jangka waktu panjang, serta bergantung pada intensitas paparan.
"Bisa berpengaruh, tapi itu kan jangka waktunya lama. Jadi kalau sekarang kena paparan frekuensi yang melebihi batas normal, itu tidak bisa langsung terdampak. Tentu akan butuh waktu dan intensitas yang lama, baru nanti diketahui ada beberapa gangguan pendengaran," jelasnya.
Lebih lanjut, Husnul menyebut ada tiga faktor utama yang memengaruhi risiko kerusakan telinga akibat suara bising. Pertama, tingkat frekuensi suara. Kedua, jarak seseorang dari sumber suara. Ketiga, durasi mendengarkan dalam sekali waktu.
"Misalnya seseorang mendengarkan sound horeg dengan durasi 2–3 jam, ya tetap harus dilihat dulu frekuensinya, jaraknya, dan lama mendengarkannya. Kalau terjadi berkali-kali, dalam jangka panjang bisa saja menimbulkan gangguan pendengaran. Tapi itu pun tetap harus dipastikan lewat pemeriksaan medis," katanya.
Ditambahkannya, pada beberapa kondisi, telinga dapat langsung merespons setelah terpapar suara keras. Gejala paling umum adalah telinga berdengung. Jika kondisi tersebut berulang, menurutnya, risikonya akan semakin besar terhadap penurunan kualitas pendengaran.
Di sisi lain, Husnul menegaskan penyakit telinga di Kota Malang hingga saat ini lebih banyak disebabkan oleh beberapa hal, termasuk infeksi. Salah satunya adalah otitis media purulenta (OMP) yang dapat mengganggu kemampuan telinga dalam merespons rangsangan suara.
Selain faktor infeksi, perilaku masyarakat juga turut berkontribusi. Kebiasaan membersihkan telinga terlalu dalam atau terlalu keras, kata Husnul, justru dapat melukai dinding telinga bagian tengah dan mengganggu fungsi pendengaran.
Tak hanya itu, faktor usia juga menjadi salah satu penyebab dominan penurunan kualitas pendengaran. "Karena usia juga memengaruhi kualitas pendengaran, maka pada usia-usia lanjut biasanya kami sarankan untuk memakai alat bantu dengar," ungkapnya.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH