
MALANG (Lentera) - Pihak DPRD Kota Malang meminta Pemerintah Kota (Pemkot) setempat segera menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal), terkait pengenaan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Karena memang dalam pembahasan saat panitia khusus (Pansus) Ranperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Nomor 4 Tahun 2023 menjadi Perda 1 tahun 2025, disepakati implementasi kenaikan tarif tersebut harus berpedoman pada Perwal," ujar Anggota Fraksi Nasdem-PSI DPRD Kota Malang, Muhammad Dwicky Salsabil Fauza, Selasa (19/8/2025).
Dwicky menjelaskan, Perda Kota Malang Nomor 1 Tahun 2025 merupakan perubahan dari Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang PDRD.
Perubahan ini menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai penerapan single tarif PBB. Jika sebelumnya berlaku multi tarif, menurutnya, kini tarif maksimal PBB untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di atas Rp100 miliar yang semula 0,167 persen dibulatkan menjadi 0,2 persen dalam Perda terbaru.
Menurut Dwicky, selain telah menjadi kesepakatan Pansus, aturan mengenai dasar pengenaan tarif PBB yang baru memang harus dituangkan dalam Perwal. Hal itu sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Nah, menurut UU HKPD, sebelum melaksanakan pemungutan kepada wajib pajak harus ada dasar pengenaan PBB-P2 yang diatur dalam Perwal. Sehingga memang menunggu terbitnya Perwal dan ini harus segera," jelasnya.
Dengan demikian, ditekankan Dwicky, tarif yang tercantum dalam Perda tidak serta-merta dapat langsung diimplementasikan. Perwal dibutuhkan untuk mengatur mekanisme pemungutan secara lebih rinci.
"Artinya, tarif PBB di Perda 1 Tahun 2025 bukan menjadi satu-satunya pedoman. Jadi patokannya bukan hanya perkalian tarif," tambahnya.
Dicontohkannya, Perwal 1/2025 tentang PDRD, nantinya akan mengatur lebih detail dasar pengenaan NJOP sebelum tarif dikalikan. Dengan begitu, tarif PBB sebesar 0,2 persen tidak otomatis langsung dikalikan dengan NJOP.
"Misalnya, objek dengan nilai NJOP di bawah Rp1 miliar diberikan dasar pengenaan hanya 20 persen dari NJOP. Nilai NJOP setelah perkalian dasar pengenaan inilah yang nanti akan dikenakan tarif PBB sebesar 0,2 persen," jelasnya.
Dwicky menilai mekanisme tersebut merupakan bentuk kebijakan fiskal yang bijaksana. Pertimbangannya adalah agar penerapan single tarif tidak memberatkan masyarakat kecil, namun tetap memberikan kontribusi optimal dari wajib pajak dengan NJOP besar.
Sebagai perbandingan, dijelaskannya, pada Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2023, tarif PBB sebelumnya dibagi menjadi empat klasifikasi. Yakni NJOP Rp0 sampai Rp1,5 miliar sebesar 0,055 persen, NJOP Rp1,5 miliar sampai Rp5 miliar sebesar 0,112 persen, NJOP Rp5 miliar sampai Rp100 miliar sebesar 0,145 persen, dan NJOP di atas Rp100 miliar sebesar 0,167 persen.
"Makanya, untuk implementasinya adalah mengacu di Pasal 7 ayat 5. Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud di ayat (1) ditetapkan paling rendah 20 persen dan paling tinggi 100 persen dari NJOP. Ini ada di UU HKPD serta turunan di Perda Kota Malang terkait PDRD," jelas Dwicky.
Meski belum dibahas secara resmi, ia meyakini Perwal yang akan diterbitkan Pemkot Malang nantinya tetap menjamin tidak ada kenaikan signifikan dalam pemungutan PBB. Dengan begitu, perubahan regulasi tetap mengacu pada keseimbangan antara kepentingan fiskal dan daya dukung masyarakat.
"Karena ada kenaikan yang menurut saya itu kebijakan fiskal. Keseimbangan itu harus ada. Tetapi dengan single tarif, apakah kita bijaksana dengan mengenakan tarif 0,055 persen kepada orang yang punya aset Rp100 miliar sama dengan orang yang rumahnya di bawah Rp1,5 miliar? Kan tidak mungkin," pungkas Dwicky.
Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais