
YOGYAKARTA (Lentera) - Semakin mahalnya harga hunian di Yogyakarta atau Jogja bukan tanpa sebab, kota ini ibarat magnet uang bagi sejumlah kalangan.
Posisi Jogja sebagai kota pendidikan, kawasan wisata, pusat studi budaya dan daerah untuk menghabiskan masa tua, membuat investasi hunian bak gunung emas yang terus meruncing.
Dosen Program Studi Analisis Keuangan Digital Program Sarjana Terapan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (UII), Aidha Trisanty menuturkan, banyak pihak dari luar wilayah, yang memanfaatkan Jogja untuk berinvestasi hunian menjadi salah satu faktor.
Model bisnisnya bermacam-macam, mulai dari membangun vila dan homestay, mendirikan kluster ekslusif sampai menyediakan perumahan berbasis sewa kontrak.
Fenomena ini menarik, lantaran di kota-kota lain perumahan biasanya dijual bukan disewakan oleh developer.
“Mahalnya harga rumah di Jogja karena tingginya permintaan. Ini terkait supply atau penawarannya terbatas, namun yang mencari selalu bertambah. Itu yang kemudian mendorong munculnya model bisnis hunian baru dengan standar pasar sesuai permintaan,” kata mantan praktisi perbankan ini mengutip Liputan6.com, Senin (22/9/2025).
Aidha menyebut, jika banyak pengusaha luar Jogja yang membeli tanah di kota ini tidak mempertimbangkan masalah harga. Alhasil tercipta suatu perilaku konsumen baru, di mana standar harga bangunan akan menyesuaikan dengan kemampuan finansial si pembeli tanah.
“Artinya ketika kita menjual di atas harga pasar, akan tetap ada orang yang mau beli. Lalu, ada pemilik lain yang melihat harga ini, otomatis jualnya di harga yang sama-sama tinggi karena tetap laku. Ini akhirnya jadi standar paten harga rumah di Jogja,” katanya.
Kondisi ini jelas menyulitkan masyarakat ekonomi kelas menengah, bahkan masyarakat asli Jogja untuk memiliki rumah. Akhirnya, perumahan-perumahan yang dibangun bukan diperuntukkan bagi warga Jogja ataupun perantau dengan gaji rendah.
“Saya kebetulan punya data harga rumah di daerah Wedomartani. Posisinya di kampung dengan luas bangunan sekitar 80 meter, tapi mintanya Rp 1 Miliar lebih, dengan kondisi bangunan lawas. Siapa yang bisa beli? Kalau kita berbicara pekerja dengan gaji rendah,” katanya.
Head of Research Rumah123, Marisa Jaya menjelaskan, Yogyakarta termasuk kota dengan pertumbuhan harga rumah seken yang solid, bahkan melampaui laju inflasi nasional.
Yogyakarta mencatat pertumbuhan harga rumah seken yang melampaui inflasi tahunan nasional (1,87%) yaitu +2,9% dari inflasi. Yogyakarta menjadi kota dengan kenaikan harga rumah seken tertinggi secara tahunan, yakni 10,9% pada April 2025.
Meski melandai pada Mei dan Juni (terendah di 5,3%), Yogyakarta tetap berada di tiga besar sepanjang kuartal ini.
"Pertumbuhan ini didorong oleh pembangunan infrastruktur seperti tol Solo–Yogyakarta–YIA dan Yogyakarta–Bawen. Jalur tol Solo–Klaten yang telah beroperasi sejak September 2024 meningkatkan konektivitas dan daya tarik kawasan," ujarnya.
Berbicara solusi, Aidha memberi saran agar fenomena rumah mahal di Jogja bisa ditekan. Promosi rumah subsidi murah bisa terus digencarkan, serta dibenahi fasilitas pendukungnya. Seringkali, posisi unit jauh dari pusat kota sehingga konsumen enggan membeli.
“Soal rumah subsidi, pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah, perlu memperhatikan aksesnya. Jangan sampai motor atau mobil sulit masuk, airnya juga susah. Fasilitas pendukung harus diperhatikan, termasuk syarat juga bisa dipermudah agar bisa diakses optimal,” katanya.
Ditekankan Aidha, para pekerja yang ingin memiliki rumah di Jogja bisa mulai memperhatikan pengelolaan finansial secara detail. Pemasukan tiap bulan, bisa dibagi sesuai skala prioritasnya. Dari sini, kemungkinan kelas menengah untuk memiliki rumah bisa sangat dimungkinkan.
“Kalau memang kebutuhan kita adalah rumah, kemudian kita harus menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk mengangsur rumah tadi, artinya untuk kebutuhan yang tidak penting dicut dulu,” tambahnya.
Editor: Arief Sukaputra