
SURABAYA (Lentera)– Komisi A DPRD Surabaya resmi merekomendasikan pencabutan Surat Edaran (SE) Sekda Kota Surabaya Nomor 400.12/10518/436.7.11/2024 yang membatasi maksimal tiga Kartu Keluarga (KK) dalam satu alamat. SE yang diterbitkan 31 Mei 2024 itu dinilai tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas.
Rekomendasi ini diputuskan dalam rapat dengar pendapat bersama warga Simolawang dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) di DPRD Surabaya.
“Kita semua sepakat merekomendasikan pencabutan SE Sekda. Sebagai gantinya, Dispendukcapil akan mengajukan rancangan perda tentang administrasi kependudukan pada Oktober 2025,” kata Anggota Komisi A, Mohammad Saifuddin, Rabu (24/9/2025).
Saifuddin menegaskan aturan baru harus berbentuk perda atau perwali agar memiliki dasar hukum yang kuat. “Surat edaran tidak bisa dikategorikan sebagai produk hukum, karena sifatnya hanya mengatur internal. Dengan perda, hak warga lebih terlindungi,” tambahnya.
Anggota Komisi A lainnya, Azhar Kahfi, menyambut baik keputusan ini. Menurutnya, pencabutan SE menjadi kabar baik bagi warga yang merasa dibatasi haknya dalam pengurusan dokumen kependudukan. Ia juga menekankan pentingnya regulasi baru yang menyesuaikan dengan kondisi bonus demografi dan perbedaan karakteristik wilayah di Surabaya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi A, Yona Bagus Widyatmoko atau Cak Yebe, menambahkan pihaknya telah mencermati aspirasi warga serta penjelasan Pemkot melalui Dispendukcapil.
“Komisi A merekomendasikan pencabutan SE sekaligus mendorong penyusunan raperda baru tentang administrasi kependudukan dengan melibatkan banyak pihak,” tegasnya.
Berdasarkan resume rapat, terdapat empat poin utama yang disepakati:
1. Mencabut SE Sekda Kota Surabaya Nomor 400.12/10518/436.7.11/2024 tentang layanan pecah KK.
2. Meminta Pemkot segera mengajukan raperda atau perwali terkait administrasi kependudukan dengan klausul pengecualian aturan pecah KK.
3. Menugaskan Dispendukcapil untuk memberikan pelayanan maksimal atas dokumen kependudukan, baik secara de jure maupun de facto.
4. Melibatkan Komisi A dalam pembahasan kebijakan kependudukan.
Cak Yebe berharap kesepakatan ini menjadi solusi permanen atas polemik pembatasan KK di Surabaya. “Dengan perda, pemerintah kota memiliki payung hukum yang kuat untuk memastikan pelayanan administrasi kependudukan berjalan adil dan transparan,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH