28 October 2025

Get In Touch

Kisah Sandy Selamat dari Serangan Stroke di Usia 30 Tahun

Sandy (pakaian berwarna putih) dan Asep Aji Fatahilah (pakaian batik), penyintas stroke usia muda (Kompas)
Sandy (pakaian berwarna putih) dan Asep Aji Fatahilah (pakaian batik), penyintas stroke usia muda (Kompas)

Perjalanan panjang kerap dihadapi para penyintas stroke usia muda. Dalam sekejap, hidup yang semula baik-baik saja bisa berubah menjadi rangkaian perjuangan untuk kembali pulih dan beraktivitas.

Adalah Sandy, seorang pria berusia 30 tahun yang secara tiba-tiba terkena serangan stroke saat sedang tidur.

“Saya enggak merasa apa-apa. Jadi, pada dini hari, tiba-tiba terasa seperti ada jarum menusuk ke kepala saya,” ucap Sandy.

Dilarikan ke RS dalam waktu kurang dari 4,5 jam

Kala itu, bibir Sandy seketika terasa kaku dan tampak miring. Istri Sandy yang tidur di sebelahnya, langsung panik melihat kondisi itu.

“Istri saya kaget dan bertanya ada apa. Saya menjawab enggak papa, tapi bibir saya sudah miring,” terang Sandy.

Panik dengan kondisinya, Sandy mencoba bangkit dari kasur, tetapi tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ia terjatuh.

“Saya berdiri, langsung jatuh,” sambungnya.

Dalam kondisi panik dan tubuh yang mulai sulit untuk bergerak, Sandy segera dilarikan ke rumah sakit dalam waktu kurang dari 4,5 jam.

“Akhirnya langsung dibawa ke rumah sakit karena rumah saya dekat dengan rumah sakit,” jelasnya.

Keputusan cepat untuk membawa Sandy ke rumah sakit menjadi langkah tepat yang menyelamatkan kondisinya.

Sandy langsung mendapatkan perawatan dan terapi fisik untuk memulihkan fungsi tubuhnya. Setelah menjalani terapi dalam waktu satu bulan, ia sudah kembali bisa berjalan dan beraktivitas seperti biasa.

“Saya dari bed rest langsung terapi, langsung bisa jalan. Setelah jalan, aktivitas lagi,” ungkapnya, meengutip Kompas, Kamis (23/10/2025).

Masih ada sisa dampak serangan stroke

Kini, lima tahun telah berlalu sejak serangan stroke menimpa Sandy pada dini hari. Meskipun telah kembali beraktivitas, ia mengaku masih merasakan sisa-sisa dampak dari serangan stroke yang pernah ia alami.

Walaupun dari luar tampak bugar, efek stroke ternyata masih meninggalkan jejak yang belum sepenuhnya hilang. Bagian kiri tubuh Sandy, tepatnya lengan dan kaki, masih membutuhkan waktu untuk kembali leluasa ia gerakan.

“Ini lengan dan kaki saya motoriknya masih belum pulih 100 persen,” kata Sandy.

Namun, hal itu tidak menghalangi semangatnya untuk terus beradaptasi dan menjalani hidup seperti biasa.

“Jadi, saya adaptasi dengan kondisi tangan dan kaki seperti ini,” ujarnya.

Untuk menjaga kesehatannya, saat ini Sandy rutin memeriksa tekanan darah dan mengonsumsi obat yang diresepkan dokter.

“Saya lebih sering tes tensi rutin, terus minum obat pengencer darah,” sebutnya.

Di sisi lain, Sandy menyebut bahwa dulu ia sempat disarankan untuk berhati-hati karena berpotensi mengalami gangguan ginjal akibat mengonsumsi obat. Namun, menurutnya, bukan ginjal yang menjadi fokus masalah. Ia justru minum obat karena stroke yang dialaminya.

“Dulu saya dibilang hati-hati takut kena ginjal, padahal strokenya yang kena, ginjalnya engga,” tuturnya.

Belajar menjalani pola hidup sehat

Sejak mengalami stroke, pola hidup Sandy ikut berubah. Sebelumnya, ia tidak menyeleksi makanan yang ia konsumsi, tetapi kini ia lebih berhati-hati dalam memilih asupan.

“Kalau dulu kan semua makanan, sikat. Kalau sekarang engga, lebih pilih-pilih,” cerita Sandy.

Selain lebih selektif dalam memilih makanan, Sandy kini juga berusaha menjalani diet supaya kondisinya tetap terjaga. Hanya saja, ia mengungkapkan bahwa menjaga pola makan teratur bukan hal mudah baginya.

“Tapi kalau diet susah, kalau saya dehidrasi saya langsung blank dan pingsan. Daripada saya blackout pingsan, lebih baik saya minum dan makan,” ucapnya.

Selain menghadapi perubahan fisik dan gaya hidup, Sandy juga sempat dihadapkan pada tantangan sosial setelah ia mengalami stroke.

“Kalau secara psikis, berat. Secara lingkungan, circle, sosial, tidak aware dengan kondisi fisik yang tidak fit kembali. Jadi, secara tampilan kami tetap normal. Tapi secara fisik, secara motorik kita berkurang. Dunia kerja pun berbeda,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Sandy juga sempat menerima komentar yang kurang mendukung kondisinya saat itu, dari lingkungan sekitar.

“Partner kami, saya kan ada istri. Kita terima belum tentu partnerbisa  menerima. Mungkin sedikit cerita ya, jadi ada tetangga kami suruh istri saya ceraikan saya. Mungkin kita kuat, tapi lingkungan berbeda lagi,” terangnya.

Dari pengalaman itu, Sandy belajar bahwa dukungan keluarga dan lingkungan sangat penting dalam proses pemulihan. Kini, ia juga aktif ke dalam bagian dari komunitas KDS Penyintas Stroke.

“Jadi, kita memang komunitasnya banyak. Di komunitas, ada (penyintas) yang berusia 19 tahun, 17 tahun,” sebut Sandy.

Melalui perjalanan panjang sebagai penyintas stroke di usia muda, Sandy memilih untuk melihat hidup dengan cara yang lebih baik. Ia ingin pengalamannya menjadi pengingat bagi anak muda, agar lebih peduli pada kesehatan diri sendiri.

“Jangan stroke lah, susah dapat pacar, hahaha,” canda Sandy.

Sandy pun memberikan pesan untuk selalu menjaga kesehatan dan gaya hidup yang seimbang.

“Hidup sehat, work life balance. Kadang kita hectic, ngegas terus, nanti langsung tumbang atau stres dan engga bisa bangkit lagi. Tidur yang cukup supaya tidak stres yang menyebabkan tensi tinggi,” pungkasnya (*)

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.