30 October 2025

Get In Touch

Tenda Hajatan Dilarang, Ketua Komisi A Ingatkan Pemkot soal Kearifan Lokal

Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Yona Bagus Widyatmoko.
Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Yona Bagus Widyatmoko.

SURABAYA (Lentera)– Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, mengingatkan Pemerintah Kota (Pemkot) agar tidak tergesa-gesa membuat aturan pelarangan atau pembatasan penggunaan tenda hajatan di jalan lingkungan. Menurutnya, kebijakan semacam itu harus mempertimbangkan kearifan lokal dan tradisi warga yang selama ini saling memaklumi.

“Tidak perlu buru-buru menyikapi keluhan sebagian warga. Kalau betul-betul akan dilarang, Pemkot Surabaya harus memberikan solusi,” kata Yona, Minggu (26/10/2025).

Politisi yang akrab disapa Cak Yebe ini menilai, budaya masyarakat Surabaya sudah terbentuk lama melalui nilai tepo seliro dan tenggang rasa. Aktivitas warga yang menutup sebagian jalan kampung untuk acara seperti pernikahan, khitanan, syukuran keluarga, hingga kedukaan, dinilainya telah memiliki mekanisme sosial yang kuat di tingkat RT/RW.

“Mulai nikahan, khitan, kumpul keluarga besar, atau kedukaan, selama ini warga mendirikan tenda itu lazimnya sudah izin RT/RW dan tetangga kanan kiri. Warga memaklumi,” ucapnya.

Cak Yebe juga menilai tidak semua hajatan harus melewati izin berlapis hingga tingkat kepolisian. Ia menyarankan agar Pemkot membuat klasifikasi jenis acara dan ukuran tenda yang berpotensi mengganggu kenyamanan serta keamanan pengguna jalan.

“Klasifikasikan dulu hajatan yang dianggap berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat, jangan digeneralisir,” jelasnya.

 

Menurutnya, tenda kecil berukuran satu hingga tiga unit tidak berdampak signifikan. Namun, jika panjang tenda sudah melebihi 18 meter, barulah diperlukan mekanisme izin yang lebih lengkap.

 

“Kalau tiga tenda ukuran sampai 12 meter dimaknai panjang per tenda 4 meter, itu tidak ngaruh sama sekali. Yang berpotensi masalah itu yang lebih dari 18 meter panjangnya,” jelasnya.

Politisi dari Fraksi Gerindra ini menuturkan, tenda hajatan umumnya hanya berdiri dalam waktu singkat dan dibongkar cepat. Bahkan untuk tenda duka yang kadang bertahan hingga seminggu, masyarakat tetap memahami sepanjang masih ada akses alternatif.

“Biasanya pemasangan tenda paling lama mulai H-2 dan dibongkar H+1. Kalau tenda duka biasanya lebih lama bisa H+7, tapi warga memahami,” tuturnya.

Cak Yebe mengungkapkan, aturan ideal seharusnya tetap mengedepankan mekanisme izin berjenjang sesuai skala acara. Untuk hajatan berskala kecil cukup melalui persetujuan RT/RW dan konfirmasi ke lurah, sedangkan acara besar yang mengundang banyak tamu dapat dilengkapi izin kepolisian.

“Tenda hajatan yang hanya menutup jalan sehari sebaiknya dimaklumi. Budaya saling menghargai antartetangga di Surabaya itu tinggi,” ungkapnya. 

Cak YeBe mengingatkan, kebijakan publik harus berpihak pada rasa keadilan sosial masyarakat. Tidak semua warga memiliki kemampuan ekonomi untuk menyewa gedung atau ballroom hotel. Untuk itu, kebijakan baru jangan sampai menghapus jati diri kampung-kampung Surabaya yang hidup rukun dan guyub.

“Saya melewati jalan kampung yang ditutup karena hajatan, saya memaklumi. Fenomena ini sudah jamak. Sebaiknya tidak perlu disikapi berlebihan. Yang penting saling memahami dan tepo seliro. Pun demikian dengan sohibul hajat, jangan semaunya sendiri, tetap pikirkan hak pengguna jalan,” pungkasnya.

Diketahui, Pemkot Surabaya telah menerapkan aturan terkait penggunaan jalan umum untuk kegiatan masyarakat, seperti pemasangan tenda hajatan. 

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, pengajuan izin tidak bisa dilakukan langsung ke kepolisian melainkan harus berjenjang melalui RT/RW dan kelurahan. 

"Soal tenda hajatan sudah kita sampaikan, maka dia harus memiliki izin. Dan izin hari ini sudah disepakati tidak boleh izin secara langsung (kepolisian),” kata Eri seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/10/2025).

Menurutnya, warga yang hendak mendirikan tenda di jalan wajib mengajukan izin disertai keterangan dari RT, RW, dan Lurah setempat. Tanpa pengantar dari tiga unsur tersebut, Kepolisian Sektor (Polsek) tidak akan menerbitkan izin. "Polsek tidak akan pernah mengeluarkan izin lagi sebelum ada pengantar yang disepakati oleh RT, RW, dan Lurah," tegasnya.

Kebijakan ini merujuk pada sejumlah regulasi, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Lalu, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas.

Selain itu, kebijakan ini juga merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

Reporter: Amanah/Editor:Widyawati

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.