OPINI (Lentera) Selat pagi Indonesia!
Di negeri yang berdiri di atas perbedaan, masih banyak yang hidup di bawah hegemoni mayoritas. Itulah paradoks Tanah Bhineka, di mana suara dan kepentingan minoritas sering diabaikan.
Kita menyebut diri bangsa besar, tapi sering gagap menghadapi perbedaan yang kita agungkan sendiri.
Indonesia gemar memuji warna-warni budayanya. Namun sebagian warna itu perlahan memudar, sementara perbedaan dipinggirkan.
Beginilah kenyataan: negara yang bangga pada keberagaman, tapi belum sepenuhnya berani menegakkan kesetaraan.
RRI, sebagai media publik, sejatinya memiliki tugas jati diri untuk memelihara perbedaan, menyuarakan identitas minoritas, dan menjaga keragaman budaya bangsa.
Namun, banyak konten siarannya justru lebih sibuk mengikuti tren digital dan hits populer, meninggalkan fungsi pokoknya sebagai penjaga keberagaman.
Minoritas di Indonesia, dari suku Basuk, Simeulue di Aceh, hingga banyak komunitas adat lain, menghadapi kenyataan pahit: suara mereka hampir selalu kalah oleh dominasi mayoritas.
Hegemoni mayoritas tak hanya membungkam aspirasi politik, tapi juga meredam budaya, bahasa, dan tradisi mereka.
Sementara itu, media publik, yang mestinya menjadi benteng keragaman, malah sering menjadi corong keseragaman.
Persoalan mendasar adalah struktur kekuasaan dan norma sosial yang condong pada keseragaman, sehingga minoritas merasa terpinggirkan.
Hukum dan kebijakan kadang ada untuk melindungi, tapi praktiknya lebih sering memberi ruang bagi mayoritas mendominasi. Ini bukan sekadar masalah moral, tapi ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlanjutan budaya bangsa.
Jika keragaman terus diabaikan, bukan hanya minoritas yang rugi—seluruh bangsa kehilangan kekayaan budayanya dan potensi inovasi dari berbagai perspektif.
Untuk itu, RRI harus kembali ke jati dirinya sebagai penjaga keberagaman.
Siaran radio dan platform digitalnya harus aktif menampilkan suara minoritas. Mulai dari berita, cerita budaya, hingga musik dan bahasa lokal.
Program-programnya harus mendorong pemahaman lintas budaya, memberikan ruang bagi identitas yang nyaris tenggelam, dan menentang dominasi mayoritas yang menekan kreativitas lokal.
Dengan langkah ni, RRI tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi benteng demokrasi budaya. Tempat semua suara dihargai dan semua perbedaan diakui.
Untuk itu, RRI harus patuh pada prinsip keberagaman. Jangan main-main dengan kehendak sendiri.
Siaran dan program digitalnya tidak boleh menari sendiri di luar ruang keberagaman, mengikuti tren semata, atau mengabaikan minoritas.
Jika itu terjadi, RRI lupa akan tugas suci sebagai penjaga perbedaan, lupa akan jati dirinya sebagai benteng budaya bangsa yang adil dan merata.
Media publik bukan sekadar hiburan atau platform digital, melainkan wahana di mana setiap suara dihargai. Setiap perbedaan diakui, dan setiap identitas dilindungi. Kegagalan memelihara keberagaman berarti kegagalan menjalankan misi sejarahnya.
RRI harus berdiri tegak. Tidak tunduk pada hegemoni mayoritas. Dan selalu menjadi penjaga keragaman yang mutlak dihormati (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





