OPINI (Lentera) -Selamat Pagi Indonesia!
Di negeri, di antara desir angin dan aroma garam, hidup sekelompok manusia yang seluruh hidupnya adalah laut. Rumah-rumah kayu mereka berdiri di atas pasir lembut.
Menghadap cakrawala tempat matahari lahir setiap pagi.
Sejak kecil mereka telah belajar membaca bahasa ombak. Menebar jaring seperti menulis doa di atas air. Hari ini mereka menangkap ikan, esok belum tentu memperoleh. Tetapi bagi mereka, cukup hari ini keluarga makan, laut tersenyum, dan hidup masih tenang.
Mereka tidak menggambar masa depan di atas peta pembangunan atau strategi ekonomi. Hidup mereka mengalir seperti arus: sederhana, jujur, dan apa adanya. Laut bagi mereka bukan sekadar sumber nafkah, melainkan sahabat yang menenangkan, sekaligus guru yang mengajarkan kesabaran.
Namun kedamaian itu rapuh seperti jaring tua yang mulai koyak. Saat pesisir dipagari beton dan proyek reklamasi menjamah bibir pantai, nelayan kehilangan pijakan. Laut yang dulu terbuka kini bagai ruang yang perlahan disegel. Akses mereka ke perairan—tempat menebar kehidupan—terpotong oleh dinding-dinding yang dingin.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi perikanan tangkap nasional tahun 2024 mencapai sekitar 7,39 juta ton, turun 5,77 persen dibanding tahun sebelumnya (Laporan Kinerja KKP, 2024). Penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan pantulan nyata dari badai yang mereka hadapi: cuaca ekstrem, abrasi, dan laut yang kian kotor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Nelayan (NTN) Desember 2024 sebesar 102,35, sedikit meningkat dibanding tahun sebelumnya. Namun angka itu belum cukup mengimbangi kenyataan bahwa banyak keluarga pesisir masih hidup di tepi ketidakpastian, dengan penghasilan yang sering kali tak menentu dan biaya hidup yang terus naik.
Di Kabupaten Jepara, terdapat 1.188 nelayan tradisional, dengan sekitar 470 orang bekerja di wilayah pesisir kota. Sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil tangkapan kecil, tanpa tabungan ekonomi yang memadai. Satu kebijakan yang menutup akses ke laut dapat berarti ribuan piring kosong di meja keluarga.
Selain benteng beton yang menutup pandangan ke cakrawala, musuh lain datang dari arah tak terlihat: perubahan iklim. Gelombang makin tinggi, cuaca kian sulit ditebak, dan air laut yang dulu jernih kini membawa jejak limbah industri.
Sejak 2019, hasil tangkapan nelayan tradisional turun sekitar 10–15 persen, menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan yang bergantung pada kemurahan alam.
Nelayan bukan hanya pekerja laut. Mereka adalah penjaga nadi bangsa. Penjaga energi ibu pertiwi.
Sektor perikanan menyumbang lebih dari Rp 164 triliun nilai ekonomi nasional, tetapi suara mereka sering tenggelam di antara gemuruh mesin proyek dan pidato pembangunan. Saat kapal besar melaju dengan teknologi modern, perahu kayu mereka masih berjuang menembus ombak -seperti daun kecil yang melawan arus.
Jika pemerintah benar-benar hadir, bukan sekadar penonton dari tepi dermaga, nelayan tidak akan terus berdiri sendirian di tengah gelombang.
Mereka perlu dibekali cara baru untuk mengelola laut secara bijak: alat tangkap yang ramah lingkungan, koperasi yang transparan, serta akses pasar yang adil. Laut dapat tetap produktif tanpa dieksploitasi, dan kehidupan pesisir dapat sejahtera tanpa kehilangan jiwanya.
Pemberdayaan ekonomi lokal—melalui budidaya ikan, pengolahan hasil tangkapan, dan pendidikan anak pesisir—adalah jalan panjang menuju kemandirian. Masa depan mereka tidak hanya ditentukan oleh cuaca, tetapi juga oleh kebijakan dan kepedulian.
Selain itu, perlindungan sosial harus ditegakkan: jaminan kesehatan, asuransi nelayan, serta akses pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Tanpa itu, laut akan terus memantulkan kesenjangan—mereka yang menjaga ombak justru hidup di bawah garis pasang kemiskinan.
Nasib nelayan bukan semata soal ekonomi, melainkan soal keadilan dan martabat manusia. Mengabaikan mereka berarti melupakan akar maritim bangsa. Indonesia tidak akan kokoh bila akar lautnya dibiarkan kering.
Mereka tidak menuntut kemewahan, hanya kesempatan untuk tetap menebar jaring di laut yang sama, di bawah langit yang sama, tanpa takut kehilangan ruang hidupnya.
Laut bukan sekadar hamparan air asin—ia adalah cermin jiwa bangsa. Selama masih ada nelayan yang berangkat sebelum fajar, menantang ombak demi sesuap harapan, negara semestinya tidak pernah lupa. Merekalah yang menjaga napas laut Indonesia (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





