OPINI (Lentera) -Biaya total pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) adalah sekitar Rp118,37 triliun atau US$7,27 miliar, yang sebagian besar adalah pinjaman dari Tiongkok.
Utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) era Jokowi masih membayangi APBN dan menjadi beban nyata pemerintah saat ini. Utang besar ini bukan sekadar angka, tetapi simbol kompleksitas keuangan negara yang harus dikelola dengan hati-hati.
Bahkan, Direktur Utama PT KAI Bobby Rasyidin saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR beberapa waktu lalusempat mengakui mega proyek itu memang menjadi bom waktu bagi perseroan.
Meski begitu, pemerintah Presiden Prabowo Subianto tetap mendorong pembangunan jalur Jakarta–Surabaya–Banyuwangi. Ia menegaskan ambisi pembangunan infrastruktur nasional.
Keputusan ini menjadi ujian kepemimpinan yang nyata: menyeimbangkan aspirasi pembangunan dengan tanggung jawab finansial yang masih menumpuk.
Bagaimana membangun proyek baru sementara utang lama belum lunas sepenuhnya?
Pertanyaan ini menegaskan bahwa pembangunan bukan sekadar ambisi politik atau simbol kemegahan, tetapi kemampuan mengatur masa depan negara tanpa membebani generasi mendatang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak pembayaran utang Whoosh menggunakan APBN, menegaskan bahwa rakyat tidak boleh dijadikan sumber dana tunggal untuk menutup kesalahan masa lalu. Penolakan ini menekankan pentingnya transparansi dan disiplin fiskal.
Presiden Prabowo memanggil Ignasius Jonan ke Istana untuk membahas koordinasi dan strategi pembangunan. Kehadiran Jonan membawa perspektif praktis agar proyek baru direncanakan realistis dan terukur, bukan sekadar simbol kemegahan.
Meskipun utang Whoosh dan rencana perpanjangan rute tidak dibahas rinci, Jonan memberikan arahan bahwa pembangunan harus mempertimbangkan kelayakan teknis, kapasitas fiskal, dan dampak sosial ekonomi secara menyeluruh.
Pertemuan Presiden Prabowo dengan Airlangga Hartarto, Purbaya, dan pihak Danantara RT A membuka opsi pembayaran utang melalui dividen internal dan cicilan tahunan. Skema ini menegaskan pemerintah mencari jalan tengah yang realistis dan bertanggung jawab.
Langkah ini memperlihatkan bahwa pembangunan tidak boleh berhenti karena utang lama, tetapi setiap keputusan harus berdasarkan kehati-hatian dan strategi jangka panjang agar tidak menimbulkan beban tambahan.
Kritik pun disampaikan Mayjen (Purn) TB Hasanuddin. Anggota Komisi I DPR RI itu menyoroti transparansi dan koordinasi antara pimpinan dan bawahan. Pernyataannya menjadi pengingat bahwa legitimasi pembangunan bergantung pada akuntabilitas dan keberanian menghadapi masalah finansial secara terbuka.
Meski menanggung utang besar, pemerintah tetap menatap proyek baru sebagai peluang strategis untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pembangunan baru harus berjalan seiring manajemen risiko yang ketat.
Langkah ini menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh terhenti hanya karena beban masa lalu. Keputusan harus seimbang antara ambisi pembangunan dan tanggung jawab finansial, selalu mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Publik menuntut bukti nyata, bukan janji. Proyek baru harus dilaksanakan secara transparan, realistis, dan dapat dipertanggungjawabkan agar tidak menimbulkan risiko finansial baru.
Kepemimpinan Prabowo diuji: menghadapi warisan utang yang berat, tetap pragmatis, menyeimbangkan risiko, dan fokus pada hasil nyata, bukan sekadar citra pembangunan.
Pembangunan besar adalah ujian kepemimpinan. Keberanian membangun di tengah beban utang menjadi tolok ukur sejati siapa yang mampu menyeimbangkan mimpi dengan realita finansial, dan bagaimana negara tetap melangkah maju meski menanggung warisan masa lalu (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





