11 November 2025

Get In Touch

Karang Laut Mulai Kehilangan Harapan

Pemutihan terumbu karang di perairan Sumatera Barat (Foto: Mongabay)
Pemutihan terumbu karang di perairan Sumatera Barat (Foto: Mongabay)

‎Opini (Lentera) -Selamat pagi Indonesia! 

‎Pada 5 November 2025, saya menulis tentang nasib nelayan—tentang manusia-manusia laut yang hidup di tepi ombak, menantang gelombang demi sesuap harapan. Namun setelah menatap lebih dalam, saya sadar: kisah mereka tak bisa dipisahkan dari rumah besar yang mereka jaga setiap hari—lautan itu sendiri. Sebab di balik nyanyian nelayan yang lirih, ada suara lain yang kini mulai pelan: lagu karang, yang perlahan kehilangan nadanya.

Di ufuk timur, ketika mentari baru mengintip di antara garis ombak, suara nelayan terdengar seperti doa yang tak pernah selesai. Lagu mereka sederhana, tanpa nada mewah, tetapi setiap getarnya membawa kisah tentang laut—tentang kesetiaan, harapan, dan hidup yang bertaut pada gelombang.

Nelayan selalu punya cara sendiri untuk memuja laut: bukan lewat pidato di podium, melainkan melalui nyanyian yang lahir dari dada yang digores asin angin. Karang, ombak, dan angin menjadi alat musiknya. Harmoni itu tak tertulis di partitur, namun mengalun dalam keseharian mereka yang setiap hari mengukur jarak antara lapar dan keberanian.

‎Laut bagi nelayan bukan sekadar ruang ekonomi. Ia adalah rumah, sekolah, dan tempat ibadah yang luasnya melampaui peta. Dalam setiap jaring yang dilempar, terselip keyakinan bahwa laut adalah ibu yang murah hati—selama manusia tahu cara menghormatinya.

Kini, lagu itu mulai pelan. Karang-karang yang dulu berwarna bagai mozaik surga, perlahan memutih dan mati. Di bawah perahu yang bergoyang, nelayan menatap dasar laut yang semakin sepi, seolah kehidupan berhenti bernapas di antara batu-batu karang yang dulu mereka jaga tanpa diminta.

‎Kita sering menyebut laut sebagai kebanggaan bangsa, tetapi memperlakukannya seperti halaman belakang rumah yang boleh dikotori siapa saja. Limbah industri dibuang tanpa malu, kapal besar menyapu jaring kecil, dan proyek reklamasi berdiri seperti tembok pemisah antara nelayan dan lautnya sendiri.

‎Pemerintah mencanangkan ekonomi biru, namun biru yang tersisa hanya di spanduk konferensi. Di lapangan, laut dikeruk, pasir dijual, dan karang diangkut demi proyek wisata yang katanya “berkelanjutan”. Ironinya, pembangunan yang dijanjikan menyejahterakan justru membuat nelayan makin terpinggir, dan ikan makin menjauh dari pantai.

‎Data dari LIPI dan BRIN menunjukkan, hanya sekitar 6,5 persen dari total 2,5 juta hektar terumbu karang Indonesia yang masih dalam kondisi sangat baik. Lebih dari 33 persen telah rusak parah akibat pencemaran, penangkapan destruktif, dan pemanasan global. WWF mencatat, dalam dua dekade terakhir Indonesia kehilangan lebih dari seperempat luas tutupan karang hidupnya.

‎Nelayan di perairan Silaut Sumatera Barat menuturkan, karang yang dulu menjadi tempat ikan menetas kini tertutup lumpur akibat pembukaan lahan dan tambang pasir. Di sana, lagu nelayan masih terdengar, tetapi nadanya sendu—bukan karena kehilangan ikan semata, melainkan kehilangan harapan.

‎Karang-karang itu ibarat perpustakaan kehidupan yang dibakar perlahan. Setiap patahan karang adalah halaman yang hilang dari kitab laut. Setiap serpihan putihnya adalah surat kabar yang tak sempat dibaca—berita duka dari kedalaman yang diabaikan.

‎Di ruang berpendingin udara, para pejabat berdiskusi tentang konservasi. Kata-kata seperti “resiliensi ekosistem” dan “pemberdayaan pesisir” mengalir indah di slide presentasi, tetapi di lapangan, nelayan masih menambal perahu dengan tangan kosong. Ironinya, mereka yang paling tahu cara laut bertahan justru tak pernah diminta bicara.

‎Kita lupa, laut bukan halaman kosong yang bisa ditulis ulang sesuka hati. Ia adalah tubuh hidup yang bisa sakit, marah, dan kehilangan sabar. Ketika karang mati, bukan hanya ikan yang pergi—tetapi juga keseimbangan iklim, ketahanan pangan, dan jati diri bangsa yang dulu bangga disebut maritim.

Di balik setiap karang yang retak, ada kebijakan yang lalai. Di balik setiap pantai yang direklamasi, ada tanda tangan yang menukar kehidupan dengan proyek. Dan di balik setiap nyanyian nelayan yang semakin lirih, ada bangsa yang lupa mendengar nada aslinya sendiri.

‎Laut tidak butuh janji; ia butuh empati. Karang tidak bisa diselamatkan oleh slogan, melainkan oleh tindakan yang berani melawan arus keserakahan. Selama kebijakan lebih tunduk pada modal daripada moral, “konservasi” hanya akan menjadi kata indah yang dikubur di dasar laut bersama terumbu yang mati.

‎Kini, saat karang-karang Silaut memutih bagai tulang laut yang tersisa, kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang tenggelam—karangnya, nelayannya, atau nurani kita?

Laut sudah lama berbicara, tetapi kita sibuk menambal kebijakan yang bocor. Bila lagu nelayan suatu hari benar-benar berhenti, jangan salahkan ombak yang reda. Salahkan diri kita, yang membiarkan simfoni kehidupan itu padam di antara tepuk tangan pembangunan semu (*)

Penulis: ‎M. Rohanudin|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.