OPINI (Lentera) -Kisah Nelayan yang Terlupakan di Balik Gelombang Kebijakan Pemerintah
Edisi kemarin (Kamis, 6/11/2025), penulis menyoroti jarum suntik—simbol gelap dari candu dan kehancuran yang menenggelamkan manusia di daratan.
Hari ini, mari mengalihkan perhatian ke arah lain: ke laut, tempat keluarga nelayan berjuang di bawah langit terbuka. Dari kisah “si badak ikan hiu” hingga riuh anak-anak yang bermain di halaman laut, ada kehidupan yang lebih sunyi namun tak kalah tragis, seperti debur ombak yang memecah kesunyian pasir.
Di tepi pantai, anak-anak kecil berlarian di “halaman laut”, bermain di antara perahu yang menepi dan jaring yang dijemur; kaki mereka meninggalkan jejak di pasir basah yang segera dihapus air pasang. Mereka tumbuh di tengah angin asin dan ombak, dengan tawa sederhana yang menutupi kenyataan pahit.
Orangtua mereka—dengan wajah legam terbakar matahari—bangun sebelum fajar, menantang laut demi sesuap harapan. Namun laut kini tak lagi setia. Hasil tangkapan berkurang, harga solar melonjak, dan nelayan kecil kalah bersaing dengan kapal-kapal besar yang menyapu ikan hingga jauh ke tengah.
Kerap kali, kehidupan nelayan seperti mereka tak tersorot kamera atau masuk dalam agenda pembangunan; padahal, mereka adalah penjaga garis pantai, pelestari tradisi, dan penyedia pangan laut bagi banyak orang. Dalam setiap tarikan jaring, ada doa sunyi yang tak terdengar di kantor ber-AC.
Di Desa Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas, kemiskinan bukan hanya soal penghasilan, tapi juga pola pikir yang terwariskan. Penelitian mencatat banyak keluarga nelayan di sana beranggapan bahwa hasil tangkapan cukup untuk hari ini saja—tanpa menabung atau mencari alternatif usaha. Inilah yang disebut “kemiskinan kultural”: lingkaran kebiasaan yang membuat nelayan sulit bangkit, meski bekerja keras setiap hari, seperti ikan yang terjebak di jaring tua yang koyak.
Di Desa Sepempang, Kabupaten Natuna, wajah kemiskinan tampak lebih struktural. Dari 1.459 penduduk, 133 keluarga tergolong miskin—dan hampir semuanya nelayan; ketergantungan pada juragan pemilik kapal membuat mereka terperangkap dalam sistem utang hasil. Saat harga ikan turun, utang bertambah; ketika badai datang, dapur pun tak berasap.
Sementara di wilayah pesisir Kota Serang, kemiskinan nelayan menampakkan wujud lain: gizi buruk. Banyak balita di keluarga nelayan mengalami malnutrisi karena kurangnya pengetahuan gizi, lingkungan yang kumuh, dan akses air bersih yang terbatas. Anak-anak tumbuh tanpa protein cukup, sementara orangtua terus berjibaku di laut, menatap horizon seperti mencari jawaban dari langit.
Lalu di Pantai Timur Kabupaten Pangandaran, lebih dari separuh nelayan hanya berpendidikan setara SD, dengan keluarga besar yang harus ditanggung. Pendidikan anak kerap dikorbankan demi membantu di laut; di sini, kemiskinan berubah menjadi takdir sosial yang diwariskan, seperti ombak yang datang dan pergi tanpa henti, tanpa meminta izin.
Di antara semua cerita itu, ada satu benang merah yang mengikat: nelayan bukan malas, bukan tak mau berjuang. Mereka hidup dalam sistem yang tak berpihak; di laut yang makin miskin ikan, di darat yang menutup mata, mereka tetap bertahan, menabur asa di pasir yang lembap.
Ketika pembangunan hanya bicara tentang kawasan industri maritim, pariwisata, dan ekspor hasil laut, nelayan kecil tetap berada di ujung rantai ekonomi: penghasil tanpa kuasa.
Mereka adalah manusia yang menahan badai, tapi negara sering menahan tangan mereka sendiri dari bantuan yang nyata; bantuan program pemerintah terlalu sering berhenti di kata-kata atau seremoni, sementara kebutuhan mendesak tetap tak terpenuhi.
Di sinilah letak kontradiksi negara yang mengaku “poros maritim dunia”: kekuatan laut bukan hanya kapal besar dan dermaga megah, tapi manusia-manusia kecil yang menggantungkan hidup pada ombak.
Jika pemerintah terus menutup mata, maka suatu hari kita akan punya laut yang luas tapi tanpa nelayan; dermaga megah tanpa perahu rakyat. Nelayan tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan: harga ikan wajar, bahan bakar terjangkau, kebijakan yang memberi ruang hidup.
Pemerintah tidak boleh lagi berdiri di menara pantau, menatap laut dari jendela rapat berpendingin udara sementara perahu rakyat karam di gelombang kebijakan. Kapal hibah berkarat sebelum sampai, subsidi solar bocor di tangan tengkulak, dan regulasi dibuat tanpa diuji di ombak.
Jika terus seperti ini, yang tenggelam bukan hanya nelayan—melainkan nurani bangsa sendiri, seperti cahaya senja yang tenggelam di ufuk, tenang tapi menohok hati yang menonton (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





