11 November 2025

Get In Touch

‎Laut Menjanjikan, Ikan Mahal, Hidup Tercekik

M. Rohanudin
M. Rohanudin

OPINI (Lentera) -Harga ikan melonjak, es dan truk minim, kehidupan nelayan di pesisir yang tidak pernah tenang 

‎Dari kemelaratan di bibir pantai, kini kita menengok pasar-pasar ikan tradisional nelayan; di sini, laut yang seharusnya memberi hidup justru menjadi tantangan baru.

‎Pagi di pesisir sering dimulai dengan bau asin dan gemericik air yang membawa kabar dari laut—namun kini kabar itu tak lagi menenangkan. 

Di beberapa pelabuhan kecil, harga ikan melonjak dalam beberapa minggu terakhir—ikan tongkol yang biasa dijual Rp15.000 kini menembus Rp32.000 per kilogram akibat cuaca buruk yang menahan nelayan di darat. Meja-meja jualan yang biasanya penuh seperti perahu-perahu kecil di dermaga kini tampak setengah kosong, seolah laut ikut menahan rezeki mereka.

‎Pedagang menyesuaikan harga, sementara pembeli kecil harus menimbang antara membeli dengan harga tinggi atau menunda kebutuhan. Setiap keluarga nelayan terus menahan badai ekonomi yang datang dari laut maupun darat.

‎Lonjakan harga di berbagai wilayah pesisir: di Semarang, cumi-cumi naik dari Rp45.000 menjadi Rp80.000 per kilogram; di Medan, tongkol dan tajak melonjak Rp5.000–10.000 per kilogram; di Pangkalpinang, beberapa jenis ikan laut dijual hingga Rp100.000 per kilogram; dan di Makassar, kerapu segar menembus Rp120.000 per kilogram. Harga yang melambung seperti ombak besar yang menghantam dermaga kecil, menimbulkan tekanan yang dirasakan pedagang dan pembeli.

‎Namun harga tinggi tak selalu berarti sejahtera. Di banyak dermaga kecil, kapal tertahan karena fasilitas bongkar terbatas, pendingin minim, dan antrean panjang. Puluhan ton ikan menunggu di bawah terik, sebagian rusak sebelum sempat dijual. Laut telah memberi hasil, tetapi darat gagal menampungnya—seakan rezeki itu karam di perbatasan dua dunia: asin dan debu.

‎Keterbatasan fasilitas es, pendingin, dan transportasi menjadi masalah klasik. Ikan segar yang baru ditangkap sering menunggu tanpa pendingin memadai; sebagian bahkan membusuk sebelum sempat dijual. Intervensi pemerintah hampir tak terasa; program bantuan es atau kendaraan pendingin yang dijanjikan sering datang terlambat, sehingga nelayan tetap menanggung risiko besar sendiri. Ketika laut sudah memberi hasil tangkapan, darat justru menagih dengan kejam. 

Seperti tetes air yang tertahan di batu karang, kesulitan menunggu untuk dilepas.

Akibat keterbatasan ini, nelayan dan pedagang kerap terpaksa membuang ikan segar begitu saja. Di beberapa dermaga, setiap hari puluhan kilogram ikan tongkol dan kerapu dibuang karena tidak ada es untuk menyimpannya atau truk pengangkut terlambat datang. Rezeki yang seharusnya mengalir seperti air laut, justru tertahan dan meluap ke pasir, meninggalkan kerugian yang nyata.

‎Beban ekonomi yang menumpuk langsung terasa di keluarga nelayan. Anak-anak sering terpaksa berhenti sekolah membantu menjual ikan, sementara orang tua bekerja dari subuh hingga senja hanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. 

‎Di sebuah desa pesisir, seorang ibu menceritakan bagaimana anaknya harus memilih antara belajar atau menjaga ikan agar tidak rusak. Kisah ini bukan kasus tunggal; ribuan keluarga pesisir menghadapi dilema serupa. Mereka seperti perahu kecil yang berlayar di antara gelombang besar, selalu menahan badai yang tak pernah reda.

‎Tekanan sosial dan ekonomi juga menciptakan ketegangan di komunitas. Utang menumpuk, persaingan antar pedagang meningkat, dan rasa putus asa mulai muncul. Sebagian nelayan memilih menjual ikan ke tengkulak dengan harga lebih murah demi cepat mendapatkan uang, meski merugi, karena kebutuhan mendesak menekan akal sehat ekonomi mereka. Gelombang krisis ini seperti arus bawah laut yang diam-diam menarik kapal ke dasar, tak terlihat tapi mematikan.

‎Ironisnya, intervensi pemerintah sering hadir dalam bentuk janji atau program terbatas. Bantuan pendingin atau truk distribusi yang seharusnya meringankan beban datang terlambat atau hanya menjangkau sebagian desa.

Di mata nelayan, bantuan itu seperti “setetes di lautan luas”; dampak nyata terhadap harga dan keberlangsungan hidup mereka nyaris tak terasa. Pemerintah terlihat seperti mercusuar jauh, cahayanya redup, sementara perahu-perahu rakyat terus dihantam gelombang tanpa sandaran.

‎Situasi ini menegaskan satu hal: laut memberi, tetapi darat menagih dengan kejam, dan sistem yang seharusnya melindungi justru membiarkan mereka jatuh. Harga yang melambung, ikan yang terbuang, fasilitas yang terbatas, dan intervensi yang setengah hati menjadikan kehidupan nelayan sebuah pertaruhan yang tak adil.

Kehidupan mereka bagaikan perahu bocor di tengah badai ganda—laut dan darat—yang harus tetap dijalani dengan tangan kosong dan hati penuh harap.

Gelombang laut yang memecah karang bukanlah satu-satunya ancaman; gelombang ekonomi dan birokrasi menimpa nelayan lebih kejam lagi. Ikan yang melimpah seperti harta yang ditawarkan alam, namun setiap kilogram membawa risiko kehilangan, setiap tangkapan bagaikan ombak yang pecah di darat tanpa sandaran. Keluarga nelayan hidup di antara dua badai: satu di laut, satu di darat, dan perahu mereka selalu digoyang oleh arus yang tak terlihat.

‎Anak-anak yang seharusnya belajar menulis dan menghitung kini menghafal harga ikan dan menimbang kerugian; pendidikan menjadi korban pertama dari sistem yang tak berpihak. Orang tua bekerja dari fajar hingga senja, namun upah yang diterima sering hanya cukup menutup lubang-lubang bocor rumah dan perut keluarga. Kehidupan mereka seperti perahu tua yang berlayar di tengah samudra tak menentu, selalu menahan ombak, namun jarak ke daratan harapan terasa tak pernah dekat.

‎Pemerintah, di mata masyarakat pesisir, seolah menonton dari kejauhan, seperti mercusuar yang redup dan jauh cahayanya; janji bantuan datang lambat atau setengah hati, sementara keluarga nelayan tetap menanggung beban sendiri.

Infrastruktur yang rapuh, harga ikan yang melambung, dan fasilitas minim menjadikan mereka kapal bocor yang harus terus mendayung di laut luas, menahan air yang terus masuk tanpa pelampung.

‎Di tengah semua tekanan ini, satu hal jelas: laut memberi, tetapi darat menagih dengan kejam. Tanpa langkah tegas—distribusi es tepat waktu, truk pengangkut yang memadai, regulasi harga yang adil, dan akses pendidikan bagi anak nelayan—perahu rakyat akan terus karam di dermaga, meninggalkan gelombang yang terabaikan. Mereka tetap berlayar, menahan gelombang ganda, namun jika tiada tindakan nyata, karam adalah satu-satunya ujung yang menanti (*)

Penulis: ‎M. Rohanudin|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.