SURABAYA - ( Lentera ) Di tengah kesibukan dan gaya hidup serba cepat, banyak orang memilih makan malam larut, sering kali lewat pukul delapan malam. Sebagian bahkan menjadikannya satu-satunya waktu untuk makan dengan tenang setelah bekerja. Namun para ahli kini menegaskan, makan terlalu malam bisa berdampak negatif terhadap ritme biologis tubuh.
“Jika makan malam terlalu larut, tubuh menerima sinyal untuk tetap aktif,” ujar Valter Longo, Direktur Longevity Institute di University of Southern California, dikutip dari GQ.
Longo menekankan pentingnya menyelesaikan makan malam paling lambat tiga jam sebelum tidur.
Menurutnya, tubuh memiliki jam biologis atau ritme sirkadian yang mengatur kapan waktu terbaik untuk makan, beraktivitas, dan beristirahat. Saat malam hari, tubuh seharusnya memasuki fase pemulihan metabolik. Asupan makanan berat di waktu tersebut justru membuat sistem pencernaan bekerja lebih lama dan mengacaukan proses pemulihan alami tubuh.
“Tubuh kita berevolusi untuk aktif di siang hari dan beristirahat di malam hari. Makan terlalu malam mengacaukan pola itu,” katanya.
Fenomena makan malam larut tak hanya soal jam, tapi juga soal kebiasaan sosial. Di kota besar seperti Jakarta, banyak pekerja kantoran baru tiba di rumah selepas jam delapan malam. Tak jarang, makan malam menjadi momen relaksasi, disertai makanan berat dan camilan manis. Padahal, menurut penelitian, konsumsi kalori tinggi di waktu malam lebih mudah disimpan sebagai lemak.
Durasi Puasa dan Pembakaran Lemak
Hal senada diungkapkan Adam Collins, profesor nutrisi di University of Surrey, Inggris. Menurutnya, kunci kesehatan metabolik terletak pada rentang waktu antara makan malam dan sarapan. “Jeda waktu lebih dari 12 jam antara makan terakhir dan makan berikutnya memberi kesempatan tubuh membakar lemak secara optimal,” jelas Collins.
Konsep ini dikenal sebagai time-restricted feeding, yang kini populer dalam pola intermittent fasting. Prinsipnya sederhana: tubuh dilatih untuk menggunakan karbohidrat saat tersedia, dan beralih membakar lemak saat tidak ada asupan makanan. Dengan demikian, metabolisme menjadi lebih efisien dan risiko gangguan seperti diabetes menurun.
Meski begitu, Collins menegaskan bahwa pola makan harus menyesuaikan aktivitas masing-masing individu. “Tidak semua orang bisa makan malam jam enam sore, terutama mereka yang bekerja malam atau punya jadwal tidak menentu,” ujarnya.
Selama bertahun-tahun, beredar keyakinan bahwa makan setelah pukul tujuh malam otomatis menyebabkan kenaikan berat badan. Para ahli gizi menilai anggapan ini keliru. Yang menentukan bukan jamnya, melainkan total asupan kalori dan kualitas makanan sepanjang hari.
Namun, waktu makan tetap berperan penting terhadap ritme hormon dan kualitas tidur. “Tubuh membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk mencerna makanan berat. Jika langsung tidur, pencernaan tidak optimal dan kualitas tidur menurun,” ujar Longo.
Kondisi ini sering dialami oleh mereka yang makan malam larut dengan porsi besar. Tubuh belum sempat menurunkan suhu inti dan kadar gula darah, sehingga tidur menjadi lebih gelisah. Dalam jangka panjang, pola ini dapat memengaruhi hormon insulin dan memicu resistensi metabolik.
“Kalau Anda tetap bisa tidur nyenyak dan kesehatan metabolik terjaga, pola makan Anda sudah tepat,” kata Longo.
Ia menambahkan, kualitas makanan juga menentukan dampaknya terhadap tubuh. Makanan tinggi protein tanpa lemak, sayur, dan karbohidrat kompleks lebih baik dikonsumsi malam hari ketimbang makanan tinggi gula atau lemak jenuh.
Gaya hidup modern yang padat membuat banyak orang hanya punya waktu untuk makan malam setelah pukul sembilan malam. Restoran cepat saji dan layanan pesan antar memperkuat kebiasaan itu.
“Manusia modern sering kali makan bukan karena lapar, tapi karena kebiasaan sosial atau stres,” tulis Longo dalam bukunya The Longevity Diet. Ia menilai, perubahan kecil dalam waktu makan dapat berdampak besar bagi kesehatan jangka panjang.
Dalam konteks masyarakat perkotaan, edukasi tentang manajemen waktu makan menjadi semakin penting. Selain mendorong disiplin pola makan, juga membantu masyarakat menyeimbangkan antara kebutuhan gizi dan waktu istirahat.(wid,ist,gq/dya)





