SURABAYA - ( Lentera ) Aksi North West segera viral, memantik rasa penasaran publik tentang tren yang disebut banyak warganet sebagai “anti-beauty aesthetic” khas Gen Z. Namun, di balik tampilan nyentrik dan gotik itu, teeth blackening bukan sekadar gaya baru. Ia adalah warisan kuno berabad-abad dari Asia, khususnya Jepang, yang dulu menjadi simbol kematangan, kecantikan, dan status sosial wanita bangsawan.
Tradisi teeth blackening pertama kali dikenal di Jepang dengan nama ohaguro, yang berarti “gigi hitam”. Ritual ini sudah ada sejak era Heian (abad ke-8 hingga ke-12) dan menjadi simbol kecantikan bagi wanita bangsawan dan kalangan istana. Pewarna hitam dibuat melalui proses rumit. Pertama besi direndam dalam teh, sake, dan cuka, menghasilkan cairan gelap pekat yang kemudian dioleskan ke gigi.
Untuk mengurangi rasa asam dan getir, masyarakat menambahkan rempah-rempah seperti kayu manis, cengkih, atau adas manis. Hasilnya, gigi berwarna hitam berkilau, kontras dengan bedak putih pucat di wajah, menghasilkan tampilan yang elegan dan misterius.
Praktik ini bukan sekadar tren kecantikan, tetapi juga diyakini memiliki fungsi medis dan simbolis. Lapisan besi di gigi dipercaya melindungi dari kerusakan dan penyakit gusi. Di sisi lain, warna hitam dianggap tanda kesetiaan, kedewasaan, dan kebangsawanan. Bahkan, beberapa samurai juga menghitamkan giginya sebagai lambang loyalitas kepada tuan mereka.
Namun pada masa Restorasi Meiji (1870-an), Jepang mulai mengadopsi gaya Barat. Gigi putih menjadi standar baru kecantikan, dan pemerintah melarang praktik ohaguro sebagai bagian dari modernisasi. Sejak itu, tradisi menghitamkan gigi pun menghilang, sampai akhirnya Gen Z menghidupkannya kembali dengan sentuhan kontemporer.
Tahun 2025 menandai kebangkitan tren ini di dunia fashion dan musik underground. Komunitas Opium style, subkultur yang terinspirasi dari label musik Playboi Carti, mulai menampilkan teeth blackening sebagai elemen estetika. Ciri khasnya: gaya goth, punk, dan streetwear gelap dari brand seperti Rick Owens atau Chrome Hearts.
Artis muda seperti Sukii Baby dan Molly Santana tampil di media sosial dengan black grills atau lapisan logam hitam di gigi mereka. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar gaya,melainkan bentuk penghormatan terhadap akar budaya non-Barat dan simbol perlawanan terhadap standar kecantikan homogen.
“Buat aku, gigi hitam itu keren karena beda. Ini bukan tentang menakutkan, tapi tentang tampil berani,” ujar seorang pengguna TikTok dalam unggahan viral yang telah ditonton lebih dari 4 juta kali.
Namun, sebagian besar remaja yang mengikuti tren ini mengaku tidak tahu bahwa teeth blackening punya sejarah panjang di Asia. Banyak yang hanya memakai cat wajah atau lipstik hitam untuk efek visual semata, tanpa memahami makna budaya yang melekat di baliknya.
Tradisi Serupa di Asia Tenggara
Menariknya, tradisi menghitamkan gigi tidak hanya ada di Jepang. Di Vietnam, gigi putih justru dianggap menyeramkan karena menyerupai roh atau hewan buas. Masyarakat setempat mewarnai gigi mereka dengan arang tempurung kelapa, air jeruk, dan arak beras agar tampak gelap dan “manusiawi”.
Tradisi serupa juga ditemukan di Tiongkok bagian selatan, Filipina, dan Indonesia bagian timur, di mana pewarna alami digunakan untuk memperkuat gigi dan mencegah pembusukan. Bagi banyak budaya di Asia kuno, warna hitam bukanlah tanda keburukan, melainkan simbol ketenangan dan kebijaksanaan.
Kini, di tangan generasi digital, tradisi tersebut berubah menjadi ekspresi artistik. Gen Z mengadopsinya sebagai bentuk kritik terhadap standar kecantikan global yang dianggap membatasi.
“Tren seperti ini adalah perlawanan visual,” ujar pengamat budaya populer Dr. Hana Kuroda dari Tokyo University. “Mereka menolak definisi tunggal tentang cantik. Dalam konteks sosial media, teeth blackening bukan nostalgia, melainkan simbol identitas baru yang inklusif dan berani.”
Meski menarik perhatian, tren ini tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak menilai bahwa penggunaan gigi hitam hanya sebagai gimmick fashion tanpa memahami akar budayanya adalah bentuk cultural appropriation — pengambilan elemen budaya minoritas tanpa menghormati maknanya.
Sementara itu, para ahli kesehatan gigi mengingatkan agar berhati-hati. Menggunakan bahan pewarna sembarangan atau cat kosmetik di gigi dapat menyebabkan kerusakan enamel dan iritasi mulut.
“Kalau hanya untuk gaya konten, sebaiknya gunakan prostetik atau efek kosmetik sementara, bukan zat kimia langsung,” saran drg. Diah Rahmadhani, seorang dokter gigi estetik di Jakarta.(tin,ist/dya)





