OPINI (Lentera) -Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia menjadi satu dari 10 tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Penganugerahan itu diberikan langsung kepada ahli warisnya yang hadir di Istana, yakni Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Rukmana.
Sepanjang perjalanan republik ini, nama Soeharto selalu menjadi pertaruhan besar dalam sejarah bangsa.Ia pernah dijuluki “Bapak Pembangunan,” namun kemudian arus reformasi menuntut evaluasi dan perubahan.
Setelah lebih dari dua dekade berlalu, langkah pemerintah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menjadi momen penting. Bukan sekadar penghormatan, tetapi refleksi kedewasaan bangsa dalam menilai sejarah secara utuh. Seperti sungai yang mengalir menembus lembah, keputusan ini menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang selama ini terselubung.
Presiden Prabowo dinilai adil karena dalam daftar usulan gelar pahlawan, tidak hanya Soeharto yang mendapat perhatian. Terdapat pula tokoh-tokoh lain yang memberi inspirasi lintas generasi: Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, presiden yang dikenal sebagai pelindung pluralisme dan pembela hak-hak minoritas; serta Marsinah, aktivis sosial.
Langkah ini menunjukkan: kepemimpinan yang adil mampu menempatkan setiap tokoh sesuai kontribusinya. Memberi cahaya baru pada sejarah bangsa seperti matahari menembus kabut pagi dan menyinari bukit-bukit yang semula gelap.
Dari sepuluh nama itu, sosok Presiden ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto, paling menyita perhatian publik. Namanya memunculkan resonansi tersendiri. Gelar itu seolah menjadi lembar akhir yang menutup satu bab panjang sejarah bangsa, seperti tinta yang menorehkan cerita di kulit waktu dan cahaya fajar yang menyapu gelap malam.
Kepemimpinan di tengah krisis
Soeharto bukanlah sosok biasa dalam peta perjalanan Indonesia. Ia mengambil alih kepemimpinan di masa paling gelap pasca-1965, ketika ekonomi runtuh, inflasi mencapai 650 persen, dan kepercayaan publik tergerus. Dalam situasi itu, ia menata ulang arah bangsa dengan ketenangan khas seorang prajurit. Ia memahami bahwa kekuasaan tidak cukup hanya ditegakkan dengan senjata, tetapi juga dengan stabilitas sosial dan ketertiban ekonomi. Seperti pohon yang tegak di tengah badai, ia berdiri sebagai penopang negeri yang rapuh.
Salah satu langkah dramatis Soeharto adalah stabilisasi ekonomi pada akhir 1960-an. Dengan program Repelita pertama, ia menata ulang produksi pangan, infrastruktur, dan industri strategis. Krisis pangan yang nyaris menelan generasi muda berhasil ditangani, dan kota-kota yang sempat rawan kelaparan mulai menata kembali sistem distribusi logistik. Aksi ini menjadi bukti nyata kemampuan Soeharto memimpin di tengah kekacauan, seperti nahkoda yang tenang mengarungi badai malam, menuntun kapal bangsa menuju pelabuhan harapan.
Soeharto mempercepat modernisasi pertanian dan membuka jalan bagi industrialisasi. Ia membangun proyek irigasi, jalan raya, dan sistem transportasi yang menghubungkan pelosok-pelosok negeri. Desa-desa terpencil mulai merasakan akses listrik dan pendidikan. Keberhasilan ini menimbulkan apresiasi internasional, sekaligus menegaskan warisan pembangunan yang masih terasa hingga kini. Jalan-jalan yang dulunya sunyi kini dipenuhi kehidupan, seperti aliran sungai yang membawa kesejahteraan ke setiap desa.
Soeharto juga menunjukkan kepiawaiannya dalam meredam konflik sosial. Contohnya, pada awal 1970-an, kerusuhan di beberapa wilayah akibat konflik tanah dan migrasi besar berhasil diredam melalui mediasi lokal dan program relokasi yang adil, tanpa menimbulkan bentrokan berskala nasional.
Diplomasi dan stabilitas regional
Soeharto berperan dalam diplomasi internasional. Ia menstabilkan hubungan dengan negara tetangga, membuka kerjasama ekonomi, dan memperkuat posisi Indonesia dalam forum ASEAN. Seperti angin yang meniupkan aroma laut ke daratan, kebijakan diplomatiknya menyebarkan pengaruh tanpa harus memaksa.
Warisan Soeharto juga tampak dalam pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Ia memperluas akses sekolah dasar, menekankan literasi dan kesehatan masyarakat, serta mendorong pelatihan teknis. Seperti benih yang ditanam dengan sabar, langkah ini menumbuhkan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Kritik dan pengakuan seimbang
Di tengah berbagai kontroversi, keputusan untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak muncul tiba-tiba. Ini hasil evaluasi panjang, melihat kontribusi signifikan bagi stabilitas negara, pembangunan ekonomi, dan diplomasi internasional. Seperti cermin yang memantulkan bayangan terang dan gelap, narasi sejarah Suharto mengajarkan kita melihat keseluruhan gambar, bukan sekadar fragmen.
Pengakuan resmi melalui gelar Pahlawan Nasional memberikan ruang bagi generasi kini untuk mempelajari keberhasilan Soeharto tanpa menghapus kritik sejarah. Dengan demikian, bangsa dapat memahami kompleksitas kepemimpinan, menghargai capaian, dan belajar dari kesalahan masa lalu. Sejarah, meski terkadang berliku, tetap mengalir seperti sungai yang membawa kehidupan.
Maka, gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto bukan sekadar penghormatan formal, tetapi pengingat bahwa perjalanan bangsa penuh liku. Seperti matahari senja yang menutup hari, pengakuan ini memberi warna hangat pada sejarah bangsa, tanpa menghapus bayang-bayang gelapnya (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH




