OPINI (Lentera) -Pada 10 November 2025, Arif Satria resmi dilantik sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) oleh Presiden Prabowo Subianto.
Di saat yang sama, jutaan warga di desa-desa terpencil dan wilayah perbatasan masih menunggu: air bersih sulit dijangkau, sumur sering kering, listrik tak stabil, dan pangan terbatas.
Pelantikan ini bukan sekadar seremonial; di pundak Arif Satria kini bertumpu tugas berat untuk menghadirkan riset dan inovasi yang mampu menjawab kebutuhan dasar rakyat, mulai dari air, pangan, hingga energi, terutama bagi daerah-daerah yang selama ini tertinggal dan terpinggirkan.
Air menjadi tantangan utama di banyak wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil. Warga di sejumlah daerah terluar harus menampung air hujan karena sumber air tanah terbatas, sementara transportasi dari pulau utama memakan waktu lama dan biaya tinggi.
Harga galon air bersih bisa mencapai Rp 30.000–40.000. Beberapa teknologi penjernih air portabel bertenaga surya pernah diuji coba, namun kondisi alam yang keras dan minimnya kemampuan pemeliharaan lokal membuat teknologi ini tak berumur panjang.
Energi pun masih menjadi masalah serius; generator hanya beroperasi beberapa jam, panel surya sering rusak karena cuaca ekstrem, dan biaya bahan bakar terus meningkat.
Studi kasus di Pulau Sebatik dan beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur menunjukkan tantangan serupa. Inovasi pertanian dan irigasi hemat air yang diterapkan BRIN belum merata karena medan sulit dan logistik terbatas. Panel surya dan genset biofuel yang dipasang sempat berfungsi, tetapi kerusakan alat serta kurangnya tenaga teknis menghambat ketersediaan energi berkelanjutan. Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa teknologi yang berhasil di satu lokasi tidak otomatis bisa diterapkan di wilayah lain tanpa adaptasi dan dukungan pemeliharaan lokal.
Meskipun banyak inovasi dicoba, hambatan terbesar tetap berupa keterbatasan pendanaan, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan regulasi yang belum mendukung inovasi di perbatasan. Proyek percobaan sering berhenti di tengah jalan karena dana tidak berkelanjutan, sementara pemerintah daerah, kementerian terkait, dan lembaga penelitian bekerja secara parsial tanpa sinkronisasi.
Masalah pangan di perbatasan muncul karena keterlambatan logistik, minimnya fasilitas penyimpanan, dan keterbatasan tenaga kerja lokal. Di sisi energi, akses listrik belum merata; sebagian pulau masih mengandalkan genset berbahan bakar fosil atau panel surya yang rentan rusak. Kondisi ini membuat warga bergantung pada suplai dari luar dan menghadapi harga yang fluktuatif, sehingga kebutuhan dasar sehari-hari tidak selalu terpenuhi.
BRIN di bawah kepemimpinan Arif Satria diharapkan mampu menghadirkan solusi berbasis riset dan inovasi yang aplikatif. Misalnya, pengembangan sistem penjernih air portabel yang tahan cuaca ekstrem, panel surya modular dengan pemeliharaan lokal, serta inovasi pertanian hemat air yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim lokal.
Sejauh ini, BRIN telah melakukan uji coba berbagai teknologi di sejumlah pulau terpencil. Panel surya portabel, mini-genset biofuel, dan sistem irigasi hemat air mulai diterapkan di lokasi-lokasi percontohan. Namun, tantangan tetap ada: distribusi logistik yang sulit, tenaga teknis lokal yang terbatas, dan pemeliharaan alat yang memerlukan pengetahuan khusus. Inovasi yang berhasil di satu lokasi harus disesuaikan ketika diterapkan di pulau lain.
Keberhasilan inovasi tidak bisa hanya bergantung pada teknologi. Warga lokal harus dilibatkan dalam pemeliharaan dan pengoperasian alat. Pelatihan teknis, sistem monitoring sederhana, dan penguatan kapasitas lokal menjadi kunci agar teknologi berkelanjutan. Koordinasi antar lembaga pemerintah, BRIN, dan pemerintah daerah sangat penting agar inovasi dapat menyentuh masyarakat secara langsung.
Keberhasilan program riset dan inovasi tidak lepas dari sinergi lintas lembaga: pemerintah pusat, daerah, TNI, Satgas Pamtas, dan masyarakat. Teknologi yang dikembangkan BRIN perlu didukung operasionalnya oleh berbagai pihak agar bisa menjangkau setiap pulau dan desa terpencil. Tanpa koordinasi yang solid, inovasi akan terhambat oleh birokrasi dan keterbatasan logistik.
Menjaga kedaulatan negara bukan sekadar menempatkan aparat di perbatasan; negara harus hadir melalui riset dan inovasi yang nyata dirasakan warga. Air bersih, energi yang stabil, dan pangan yang cukup bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar yang harus dijamin.
BRIN di bawah Arif Satria berpeluang menjawab tantangan ini, memperkuat ketahanan warga, dan meneguhkan kedaulatan di wilayah paling terpencil sekalipun (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





